"Biar aku buka sendiri pintunya, Dear," ucapku. "Aku belum membawa beban berat." Apalagi, aku memang masih belum hamil.
Pancake yang kupesan terhidang di mejaku, tampil dengan tiga tumpukan yang rapi dan topping madu dan irisan stroberi. Jeff memilih roti sandwich dengan patat yang banyak. Patat itu french fries. Atau, apa ya namanya, oh, mudahnya kentang goreng. Jeff suka sekali satu pincuk patat yang diberi lumuran saus keju. Selain patat, makanan yang disukai Jeff adalah herring. Aku pernah sekali menjilat sajian ikan mentah yang dipesankan Jeff waktu itu dengan dibumbui irisan bawang putih. Aku merasa tidak ingin mencobanya lagi. Herannya, Jeff dapat sekali memasukkan kudapan itu dan sekali telan masuk ke perutnya.
"Kau ada rencana mau mengerjakan apa hari ini?" tanya Jeff di sela-sela menyantap makanannya. Aku menggeleng.
Sampai di pelataran rumah aku turun dari mobil dan Jeff melanjutkan perjalanannya ke kantor. Sebentar kutatap rumah ini. Tempat tinggalku yang baru yang bangunannya seragam dengan bangunan di kiri kanannya. Satu dua pemikiran melayang-layang di benakku namun akhirnya aku bergerak melangkah maju menujunya. Membuka pintu dengan satu putaran kunci lalu masuk sembari menyalakan saklar lampu yang ada tepat di dinding sebelah kanan.
Aku menyalakan televisi 50 inch yang bagiku seperti kotak flat persegi panjang raksasa di ruang tamu yang kecil. kucoba keraskan volumenya namun aku masih merasakan kesunyian yang dalam. Aku merasa sendirian.
Teringat olehku pertanyaan Jeff sewaktu kami berada di restoran pancake. Aku harus melakukan sesuatu.
Hal pertama yang kulakukan adalah membersihkan rumah yang sudah rapi. mengepelnya dengan pewangi lantai akan membuat kebersihannya lebih sempurna. Barangkali. Selesainya aku ke dapur, mengecek isi kulkas. Sejurus putaran mata aku memastikan bahwa sebentar lagi aku akan berangkat ke toko.
Toko bahan pangan di Amsterdam ini dapat dicapai hanya sekitar sepuluh menit bersepeda. Aku tahu lokasinya saat setiap pagi aku dan Jeff mencari-cari menu sarapan di restoran-restoran yang berbeda. Sepeda kuparkirkan di halaman parkiran yang sudah berjubelan sepeda lain yang terkunci. Aku pun taklupa menggembok sepedaku. Di Solo aku takpernah menggunakan gembok untuk mengunci roda sepedaku.
Aku berjalan mencari-cari lokasi telur ayam. Sepertinya nanti malam aku dan Jeff tidak perlu keluar untuk makan malam. Aku akan mulai memasak untuknya.
Keranjang belanjaanku telah terisi dengan sekotak telur ayam isi dua belas butir, seplastik bakso beku, Â susu cair dalam kotak 500 ml, seikat daun bawang, dan beberapa bumbu dapur. Aku siap menuju kasir ketika seorang ibu setengah baya menghampiriku. "Hey, Nak, kau menjatuhkan sesuatu," suaranya dalam bahasa Inggris yang lancar terdengar dari belakangku. Sebelum berbalik aku sempat bersyukur ada orang asing mengajakku berbicara dengan bahasa Inggris. Aku belum mahir berbahasa Belanda.
Ibu itu tampak sedikit membulatkan mata, seperti kaget takpercaya, ketika aku berbalik badan ke arahnya. "Kau seperti orang Indonesia," Ibu itu tampak anggun biarpun wajahnya terlihat beberapa kerutan. Dari usianya sepertinya beliau sudah enam puluhan tahun. Penampilannya rapi dengan dress bercorak batik warna hitam dengan batikannya berwarna fuscia gelap.