Reaksi dan Tantangan
Publik menyambut positif draf tuntutan ini. Banyak yang menganggap suara Salsa sebagai cerminan keresahan rakyat kebanyakan. Namun tentu saja, tidak semua pihak senang. Kalangan politisi DPR bisa merasa tersinggung, aparat kepolisian bisa merasa disudutkan, dan pemerintah bisa menganggapnya sebagai tekanan berlebihan.
Pertanyaan krusialnya adalah: sejauh mana tuntutan ini akan didengar? Pemerintah bisa saja merespons dengan janji normatif, atau bahkan mencoba mendeligitimasi Salsa dengan label-label negatif.Â
Namun fenomena ini menunjukkan satu hal : ruang artikulasi politik kini tidak lagi dimonopoli elit, melainkan bisa datang dari seorang diaspora muda di Instagram.
Dari Diaspora untuk Nusantara
Salsa mungkin hanyalah satu dari jutaan diaspora Indonesia yang tersebar di berbagai negara. Tetapi ia memberi contoh bagaimana diaspora tidak harus kehilangan keterikatan pada tanah air. Dengan memanfaatkan platform digital, mereka bisa menjadi jembatan antara pengalaman global dan kebutuhan lokal.
Keberanian Salsa mengunggah draf tuntutan publik juga menunjukkan generasi muda tidak lagi takut untuk bersuara. Mereka menyadari politik menentukan harga beras, biaya sekolah, kualitas kesehatan, dan bahkan keselamatan dalam demonstrasi. Politik bukan lagi milik partai dan parlemen saja.
Menyulam Harapan
Aksi Salsa Erwina Hutagalung pasca demo Agustus adalah cermin dari zaman yang berubah. Demokrasi Indonesia sedang diuji : apakah ia hanya akan menjadi prosedur kosong, atau benar-benar menjamin suara rakyat?
Draf 12 poin itu mungkin tidak semuanya bisa diwujudkan dalam tujuh hari, seperti ultimatum yang ia tuliskan. Tetapi pesan utamanya jelas, rakyat butuh perubahan nyata, bukan sekadar wacana.
Generasi Z, lewat medium yang sederhana seperti reel Instagram, bisa mengguncang jagat politik nasional. Inilah generasi yang tidak lagi puas dengan basa-basi, melainkan menuntut langkah konkret.