Doktrin Baru Israel : Bangkitnya Adidaya Regional di Timur Tengah
Dalam lanskap geopolitik yang terus berubah di Timur Tengah, Israel tampil dengan wajah baru : bukan lagi sekadar negara bertahan dalam kepungan musuh-musuhnya, tetapi kini sebagai kekuatan proaktif, hegemonik, dan dominan. David M. Weinberg, dalam kolomnya di Jerusalem Post (18 Juli 2025), menegaskan Israel telah memasuki era baru kebijakan pertahanan dan keamanan : bukan dengan menahan diri, melainkan dengan mendahului dan melumpuhkan ancaman sebelum meledak. Doktrin ini bukan hanya reaksi terhadap ketidakberdayaan strategi Oslo selama empat dekade terakhir, tetapi manifestasi dari pola pikir negara adidaya regional yang sedang bertumbuh.
Kegagalan Strategi Oslo dan Diplomasi Barat
Strategi Oslo - yang digagas dengan semangat perdamaian namun tanpa pemahaman realistis tentang medan konflik - telah terbukti gagal. Upaya Barat, termasuk tekanan terhadap Israel agar menarik diri dari wilayah-wilayah sengketa dan memberi ruang bagi diplomasi, nyatanya hanya memberi waktu dan ruang bagi musuh-musuhnya untuk bersiap. Hamas, Hezbollah, dan bahkan aktor negara seperti Iran, memanfaatkan "masa tenang" untuk membangun kekuatan. Weinberg menyebutnya sebagai masa penundaan semu yang dipoles menjadi istilah "stabilitas" oleh Barat.
Hasilnya? Terorisme merajalela dari Gaza hingga Tepi Barat, dan program nuklir Iran nyaris rampung. Diplomasi gagal mencegah kekerasan, dan pendekatan "penahanan" lebih menyerupai ilusi.
Paradigma Baru : Israel sebagai Aktor Proaktif
Alih-alih menunggu ancaman datang, Israel kini memilih untuk menjemput bola. Serangan preventif terhadap aset musuh dari Khan Yunis hingga Isfahan bukan lagi sekadar opsi, tapi keniscayaan. Pesan yang ingin disampaikan jelas : Israel ingin ditakuti, bukan dicintai; ingin disegani, bukan dikasihani.
Strategi ini bukan tanpa dasar. Dalam dunia yang dihuni oleh aktor-aktor ideologis, fanatik, dan genosida seperti yang ada di Timur Tengah, menjadi pasif adalah bunuh diri. Israel memahami bahwa kekuatan militer adalah satu-satunya bahasa yang dimengerti oleh musuh-musuhnya.
Kritik terhadap Peran Barat dan Negara-Negara Arab
Adalah sebuah ironi, Eropa dan Amerika Serikat terus berupaya memaksakan "kenegaraan" Arab-Palestina sebagai solusi damai, meski realitas di lapangan berkata sebaliknya. Tiga dekade bantuan keuangan, pelatihan militer, dan dukungan diplomatik tak membuahkan hasil positif. Otoritas Arab-Palestina tetap korup, nepotistik, dan menjadi lumbung propaganda serta kekerasan.