Secara konstitusional, pendidikan dasar hingga menengah di Indonesia dijamin oleh negara dan seharusnya bebas biaya. Pasal 31 UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pemerintah wajib membiayainya. Namun dalam praktiknya, biaya pendidikan masih menjadi momok bagi banyak keluarga. Mulai dari uang seragam, buku, ekstrakurikuler, hingga pungutan-pungutan yang tidak resmi, semuanya tetap harus ditanggung oleh orangtua murid.
Ibu Yayuk, warga Kelurahan Polehan, Kecamatan Blimbing, Malang, adalah contoh nyata dari rakyat yang harus berjibaku menghadapi kenyataan ini. Meski pemerintah menyatakan bahwa pendidikan digratiskan, ia tetap merasa perlu untuk berjaga-jaga. Ia menjual gelang emas seberat 3 gram demi memastikan anaknya bisa masuk SMP tanpa kekurangan. Kekhawatiran akan biaya tak terduga masih begitu membebani, bahkan sebelum tahun ajaran dimulai.
Kebijakan yang Belum Mengakar
Pemerintah pusat kerap kali menggembar-gemborkan program sekolah gratis. Namun implementasinya di lapangan sangat bergantung pada kebijakan daerah. Di masa kepemimpinan Walikota Malang, Abah Anton, program sekolah gratis sempat benar-benar dijalankan secara efektif. Beliau memahami bahwa amanat konstitusi bukan hanya slogan, tetapi harus diwujudkan dengan tindakan nyata. Sayangnya, program semacam ini jarang sekali diikuti oleh daerah lain, bahkan oleh pemerintah pusat sendiri.
Ketiadaan kebijakan yang merata dan sistematis menjadikan rakyat terus-menerus berada dalam posisi bertahan. Mereka tidak punya kepastian, hanya mengandalkan informasi lisan dan janji-janji pemerintah yang kerap kali tak ditepati. Dalam kondisi seperti ini, menjual emas menjadi solusi paling rasional, meski itu berarti mengorbankan jaminan keuangan keluarga di masa yad.
Fenomena Jual Emas dan Ekonomi Musiman
Pola ini memperlihatkan betapa rapuhnya daya tahan ekonomi rumah tangga masyarakat menengah ke bawah. Emas yang sejatinya bisa menjadi aset jangka panjang, terpaksa dijual untuk memenuhi kebutuhan musiman. Ini bukan hanya persoalan pendidikan, tetapi juga menyangkut harga kebutuhan pokok yang tak terkendali, terutama saat hari raya besar.
Menjelang Idul Fitri misalnya, harga bahan makanan melonjak tajam. Kebijakan pemerintah untuk mengendalikan harga lewat operasi pasar dan subsidi harga hampir selalu gagal mencapai sasaran. Para pedagang besar justru mengambil kesempatan untuk meraih untung besar, dan masyarakat bawah kembali menjadi korban. Dalam situasi seperti ini, perhiasan emas kembali menjadi "penyelamat", meski sifatnya sementara.
Solusi Sistemik yang Belum Datang
Fenomena ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah bahwa sistem ekonomi dan pendidikan kita masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Dibutuhkan intervensi yang sistemik dan menyeluruh, bukan hanya tambal sulam. Di bidang pendidikan, misalnya, perlu diterapkan kebijakan pendidikan gratis yang benar-benar menyentuh seluruh komponen biaya, bukan hanya biaya SPP. Pemerintah daerah dan pusat harus bersinergi dalam menghilangkan semua bentuk pungutan yang masih membebani orang tua siswa.
Di sisi lain, edukasi finansial kepada masyarakat tentang perencanaan keuangan juga perlu digalakkan. Menyimpan emas boleh jadi pilihan bijak, tetapi jika hanya itu satu-satunya bentuk perlindungan finansial, maka masyarakat akan terus terjebak dalam siklus konsumsi-darurat. Perlu ada program tabungan pendidikan atau asuransi pendidikan dengan subsidi dari pemerintah, agar masyarakat bisa lebih siap menghadapi momen-momen krusial seperti tahun ajaran baru.