Mohon tunggu...
Pangestu Adika Putra
Pangestu Adika Putra Mohon Tunggu... Pekerja Visual

Nobody

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Tidak Bisa Blayer, Alasan Masyarakat Ogah Pindah ke Kendaraan Listrik

20 September 2025   23:11 Diperbarui: 21 September 2025   00:21 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Motor Bensin oleh Dika

Tentu saja, blayer juga bisa memicu konflik. Dalam beberapa kasus, blayer yang dilakukan pada momen salah justru bisa dimaknai sebagai tantangan atau provokasi. Tidak jarang, baku jotos seringkali terjadi akibat salah tempat blayer. Meski begitu, risiko itu justru bagian dari sensasi yang menantang.

Menariknya, ada pula dimensi romantisme dalam fenomena blayer. Beberapa narasumber mengaku, blayer digunakan sebagai cara untuk menarik perhatian lawan jenis. Getaran suara mesin dianggap punya daya pikat tertentu, terutama bagi mereka yang tumbuh di lingkungan dengan kultur blayer-blayer.

Semua fungsi itu hilang ketika berbicara tentang motor listrik. Suara senyap, gerakan halus, dan minim getaran membuat motor listrik kehilangan "bahasa" yang selama ini dipakai para pengendara untuk berinteraksi. Bagi mereka, naik motor listrik ibarat minum kopi tidak pakai aaahhh.

Faktor inilah yang membuat resistensi terhadap kendaraan listrik menjadi unik. Ia bukan semata-mata perkara harga atau infrastruktur, melainkan juga persoalan budaya. Masyarakat masih sulit membayangkan dunia otomotif tanpa raungan mesin, tanpa blayer yang selama ini jadi bagian paling identik.

Tentu saja ada alasan lain yang lebih rasional. Harga motor listrik masih relatif tinggi, performanya masih dipertanyakan, dan infrastruktur pengisian daya belum merata. Belum lagi bagi ojek online atau kurir, motor listrik dianggap belum sebanding dengan kebutuhan kerja mereka.

Namun, jika ditarik ke akar persoalan, penolakan terhadap kendaraan listrik ternyata banyak bersinggungan dengan aspek psikologis dan emosional. Motor bukan sekadar alat transportasi, tapi simbol gaya hidup. Blayer adalah salah satu manifestasi dari simbol itu, yang tidak bisa digantikan oleh teknologi senyap ini.

Cepat atau lambat, masyarakat akan diarahkan untuk menggunakan kendaraan listrik. Pertanyaannya, bagaimana cara mengganti "sensasi blayer" yang jelas tidak akan didapatkan pada kendaraan listrik?

Dengan penuh optimisme, penulis berharap di masa depan produsen menambahkan fitur suara mesin buatan, sekadar memenuhi kebutuhan emosional ini. Sampai hari itu tiba, alasan klasik "tidak bisa blayer" akan terus jadi tameng bagi banyak orang untuk tetap setia pada motor bensinnya.

Pangestu Adika Putra

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun