Mark mendesah. "Aku paham, ini demi penjagaan dan karena kau orang asing, tapi kami bisa memastikan bahwa-" Tiba-tiba, Jane Mill, orang yang menodongku di ruang bawah tanah, mendobrak masuk. "Maaf tuan dan nona, ada tamu tak diundang datang." Mukanya terlihat cemas dan membawa sepucuk pistol.
Suasana menjadi tegang ketika kami berlarian menuju jendela balkon. Di ujung halaman depan, dengan kondisi cuaca yang mulai hujan salju, dua truk berwarna hijau tua terparkir di halaman, melewati pintu gerbang yang sudah didobrak paksa. Beberapa orang memakai seragam polisi militer keluar dari bak truk dengan jumlah banyak dan mulai berlarian menuju ke dalam rumah. "Mill! Kerahkan orang-orangmu sebisa mungkin!" Teriak Mark, selagi mengeluarkan pistolnya. Mill tidak menjawab dan langsung berlari menuju lantai bawah. Kami mengikuti hingga pinggiran tangga dan melihat beberapa orang tak berseragam, sekitar sepuluh orang, berlari menghadap jendela rumah membawa bedil dan senapan otomatis. Adu tembak dimulai dengan dahsyat.
Mill berlari kembali ke atas membawa dua Maschinenpistole 18. "Hey, Indo, kau bisa pakai ini?" Tanyanya dengan nada menghina tapi juga tegas. Aku ragu tapi tetap mengangguk dan mengambilnya. Mill juga menghampiri Corrie. "Kalau kau? Bisa?" Corrie terlihat menggigil dan ketakutan, sambil menggeleng-geleng kepala dan memojokan diri. "Merde! Sudahlah. Kau! bantu aku di jendela barat!"
Aku langsung berlari mengikuti Mill menuju jendela di bagian barat rumah, dimana ia langsung membidik senapannya dan segera menembak. Suara tembakan yang keluar dengan cepat memekakkan telinga. Aku menarik handle, membidik dan menembak. Kekuatan dari senapan membuatku terdorong sedikit, tetapi tetap terus bertahan. Terlihat beberapa tembakan mengenai badan polisi militer yang menyerbu.
Polisi militer bersembunyi di balik ornamen-ornamen halaman depan dan juga dibalik truk tempat mereka datang. Beberapa dari mereka jatuh tertembak, tetapi mereka tetap terus menembak. Mill berpindah tempat dan segera ke lantai bawah. Beberapa peluru nyaris mengenai mukaku dan menghantam tembok, menyebabkan debu dan puing mulai berserakan. Keadaan terlihat menguntungkan, beberapa polisi militer jatuh, dan tinggal terlihat sedikit dari mereka tersisa. Namun, ketenangan tersebut hanyalah sebentar.
Tiba-tiba terlihat bantuan tak terduga. "Judith!? Apa yang kamu lakukan? Menyingkir!" Kulihat dia membawa tas kecilnya berisi obat-obatan dan perban. "Aku tidak ingin ada yang terluka, meskipun mereka melukaiku sebelumnya! Kuambil ini dari kotak P3K di dalam tadi!" Ia langsung berlari ke lantai bawah, melewati rentetan peluru dan debu. Gila, kukira dia masih takut, pikirku. Judith langsung mendekati yang terkena tembakan dan berusaha sebisanya untuk membantu.
"Apa-apaan!? Ada lima truk datang!" Teriak salah seorang anggota  V.C langsung berlari kedalam ruangan dan menuju ke bawah. Di jalan utama, terlihat lima buah truk berdatangan yang pastinya berisi bala bantuan. "Kita tidak mungkin melawan lagi! Jumlah kita kalah jauh!" Teriak Mark dari samping salah satu jendela. Beberapa anggota V.C menariknya ke ruangan lain. "Anda harus menyingkir baas! Tidak aman lagi di sini!" Teriak mereka. Mereka membawanya turun menuju lantai bawah dan aku mengikuti dari belakang. Pemandangan di lantai bawah mengerikan, beberapa orang Mill tergeletak dengan luka tembak dimana-mana, beberapa duduk menghadap tembok sambil mendesah menahan sakit dan memegang bagian yang terluka.
"Hentikan tembakan! Tidak ada yang bisa kita lakukan lagi!" Teriak Mark dari belakang. Corrie, Mill dan aku menatapnya dengan terkejut. "Apa kau serius Mark? Tapi bagaimana nasib kita nantinya?" tanyaku padanya. "Kita tidak punya banyak pilihan, orang-orang Mill yang ikut kesini tidak banyak, dan bala bantuan memakan waktu berjam-jam untuk sampai. Kalau kita terus melawan, kita akan mati, perjuangan kita akan sia-sia."
Aku terdiam, tidak tahu harus bagaimana ketika terdengar suara hentakan kaki yang semakin mendekat. Brak. Pintu depan terbuka lebar dan banyak polisi militer berpakaian hijau tua yang memasuki ruangan, bersenjata lengkap. "Handen omhoog! Waag het niet je te verzetten of we openen het vuur!" ("Angkat tangan! Jangan coba-coba melawan atau kami akan melepaskan tembakan!") Teriak polisi militer yang paling depan, membawa sepucuk pistol. Semua mengangkat tangannya dan terdiam. Selamat di Rotterdam, mati di Vaals, sial.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI