Aku tidak sepenuhnya memahami diriku.
Aku yang tersusun dari aku dan juga Dia yang diam dalam aku
aku saja susah kupahami, ya tentu saja Dia yang diam dalam aku lebih tak kupahami
Keberadaanku sebagai manusia, aku paham bahwa aku berada diantara sesamaku dan alam. Di sana-lah aku dan mereka saling memberi arti. Tetapi keberadaan jiwa yang membadan pada tubuhku sulit dipahami. Lantas aku harus bagaimana? Membiarkan begitu saja, atau memahami pantarei dalam diri dan jiwaku yang  statis ini?
Aku memang tidak tahu temntang aku
Dan aku lebih tidak tahu kalau aku tahu segala sesuatu
Sebab aku yang menjadi aku terbentuk dari suatu kompleksitas
Banyak orang rohani katakan bahwa jiwa hanya akan berarti dan hidup kalau raga mati
Apa yang dimaksud dengan raga harus mati? Raga ini tersusun dari partikel saraf, daging, kuli, tulang, sum-sum atau sel-sel lainnya dan berbagai macam unsur lainnya. Raga ini tentu saja terpisah dari jiwa. Dia berbeda dari jiwa. Manusia keseluruhan juga tertata dalam komponen-komponen yang saling bertautan: Badan (raga), jiwa. Dalam jiwa ini ada kehendak, intuisi, insting, perasaan dan pikiran.
Kembali ke pokok. Apa yang dimaksud dengan raga harus mati dan supaya jiwa hidup? Dalam raga manusia memiliki keinginan, lebih tepatnya raga selalu berpotensi untuk dimanja, atau raga ini pada dasarnya selau tidak kekurangan sesuatupun ia selalu menginginkan agar entitasnya tidak merasa sakit, pedih, perih ataupun kebutuhan-kebutuhan lain. Di selau menarik jiwa untuk memperhatikannnya.Â
Lantas bagaimana harus mematikan raga yang memiliki kompleksitas kebutuhan dan tak ingin dikhianati seperti ini? Kehendak ! Kehendak itu bagian lain dari manusia yang terstruktur dari rasionalitas, introspesksi, keinginan untuk berubah. Dan keberanian. Yang dapat mematikan raga dari kecengengannya adalah kehendak, rasio dan hati nurani plus keberanian dan tekad. Mematikan dengan cara bagaimana? Dengan membatasi segala keinginan yang berlebihan, dengan tidak terus melayani badan, dengan penyangkalan: menolak, menghentikan tuntutan-tuntutan yang tidak rasiona yang juga membawa nikmat sesaat. Ini pun masih tidak 100% berjalan.Â
Badan (raga) tidak pernah berhenti untuk menuntut segala keutuhannya. Lantas apa yang mau bagaimana lagi untuk menghadapi ini? KESADARAN. Selalu punya kesadaran atau lebih tepatnya daya ingat harus terus diaktifkan untuk mencegah tututan raga menjadi suatu ekspektasi yang berlebihan. Sadar bahwa raga ini selalu membutuhan dan mencari serta menuntut lebi dari apa yang dimiliknya sekarang saat ini dan di sini. Hidup dalam kesadaran lebih berwibawah daripada dikata mati rasa. Tapi yang lebih penting bukan hidup atas dasar keinginan orang dan mengikuti segala yang dimauinya melainkan hidup sesuai dengan kompas dan kursor kesadarn diri yang terus diaktifkan dengan daya ingat.
Apabila semua ini telah dilaksanakan tentu saja Jiwa akan bersinar, jiwa tidak dibudak oleh badan. Seba jiwa lebih tinggi kualitasnya daripada raga. Memang kuakui bahwa badan memberi arti pada jiwa  sehingga bisa disebut badan yang menjiwa dan sebaliknya badan hanya disebut badan atau tubuh hidup kalau ada jiwa, tanpa jiwa badan hanyalah mayat. Â