Salah satu ibadah istimewa di bulan Ramadan adalah shalat tarawih yang dilaksanakan selama sebulan penuh pada setiap malam. Luar biasa balasan yang Allah sediakan bagi mereka yang menegakkan tarawih (qama Ramadan), sebagaimana hadits dari Abu Hurairah ra.Â
Nabi saw bersabda, "Barangsiapa melakukan qiyam Ramadan (shalat tarawih) karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni" (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759).
Namun dalam praktiknya, masyarakat muslim di berbagai belahan dunia melaksanakan shalat tarawih dengan jumlah raka'at yang berbeda-beda. Di Indonesia, hanya dikenal dua jenis bilangan raka'at tarawih. "Kalau NU duapuluh tiga, kalau Muhammadiyah sebelas", demikian persepsi masyarakat awam tentang jumlah raka'at tarawih.
Mereka yang tidak merasa NU dan tidak pula Muhammadiyah akan bingung dengan persepsi seperti ini. "Jadi aku ikut yang mana? Sedangkan aku bukan NU dan bukan pula Muhammadiyah".
Perbedaan bukan hanya terjadi di masyarakat, namun bisa ada di dalam satu keluarga. Suami Muhammadiyah, shalat tarawih sebelas raka'at. Ibu NU, shalat tarawih duapuluh tiga raka'at. Anak-anak kadang ikut ayah ke masjid Muhammadiyah, kadang ikut ibu ke Masjid NU. Demi menghormati keduanya.
Mereka telah sampai kepada level saling menghormati dan menghargai perbedaan. Maka tak ada konflik dan pertengkaran terkait pilihan jumlah raka'at yang berbeda antara ayah, ibu dan anak-anak. Karena pada dasarnya, perbedaan adalah fitrah kehidupan, dan karakter kemanusiaan. Maka takperlu dibesar-besarkan.
Sebenarnya, kalau kita mau lebih dalam menelisik perbedaan jumlah raka'at dalam tarawih, ini bukan soal NU atau Muhammadiyah. Namun ini adalah soal pilihan ijtihad para ulama. Pilihannya bukan hanya ada dua sebagaimana pendapat masyarakat luas.
Setidaknya, secara garis besar ada empat pilihan pendapat. Meskipun jika diperinci lagi, masih ada pilihan pendapat lain lagi. Kita lihat yang empat saja.
Pilihan Pendapat Pertama
Pilihan pendapat pertama, jumlah raka'at tarawih adalah duapuluh dan ditambah tiga raka'at witir. Pendapat ini dinyatakan oleh Imam Abu Hanifah, Imam Asy-Syafi'i, Imam Ahmad, para pengikut mazhab Hanafi, Syafi'i dan Hanbali; serta dipilih pula oleh Imam Sufyan Ats-Tsauri.