Danu mengangkat bahu. "Kalau kita manusia, mestinya negara malu melihat kita basah."
Tari tertawa. Lalu menangis. Lalu tertawa lagi. Karena di Jakarta, itu bukan bipolar. Itu adaptasi.
**
Esoknya, berita banjir Kolong Tol Meruya menghiasi linimasa. Foto Pak Saiman berdiri di tengah air jadi viral. Caption-nya berbunyi: "Pahlawan malam ini."
Tapi malam itu, Saiman tidak merasa jadi pahlawan. Ia cuma merasa dingin. Dan lelah.
"Besok air surut, semua lupa," katanya sambil mengganti kaus kaki yang basah. "Yang abadi cuma tagihan listrik."
**
Dan di hari berikutnya, langit kembali biru. Jalan kering. Kolong tol kembali jadi tempat lalu lintas dan kadang tempat tidur orang kehilangan rumah.
Tapi di sela-sela beton, masih tertinggal sandal jepit. Dan dalam lumpur, masih ada bekas telapak kaki anak-anak bajak laut.
Dan di hati Pak Saiman, masih tersisa pertanyaan:
"Kalau Tuhan tinggal di Jakarta, rumah-Nya pasti di kolong tol, bukan?"