"Kalau besok sekolah, kita tetap mandi di sini," jawab yang lain.
**
Sementara itu, di Daan Mogot, banjir belum setinggi kolong tol. Kendaraan masih bisa melintas, tapi pelan seperti niat menikah pasca Lebaran.
Pak Darto, sopir bajaj veteran, melintasi genangan dengan manuver seperti menari. Ia menyetel radio keras-keras: dangdut campur suara guntur.
"Ini Jakarta, Bang. Mau selamat, harus bisa mengapung meski tak punya pelampung," katanya pada penumpang yang wajahnya sudah lebih pucat dari cat bajaj.
"Kalau bajaj ini mogok, kita dorong bareng ya?"
Penumpang tertawa kecut. Ia tahu: tawa adalah pelampung terakhir warga kota.
**
Kembali ke kolong tol.
Pak Saiman masih berdiri. Ia mengunyah rokok yang sudah mati. Di dompetnya ada foto istri yang pergi sejak banjir lima tahun lalu. Bukan karena air, tapi karena kebosanan.
Di sekelilingnya, mobil-mobil mewah berputar arah. Tidak ada yang sudi lewat. Banjir ini seperti seleksi alam: hanya yang nekat yang akan mencoba melintas.