Jakarta, pukul 18.40
Air naik pelan-pelan seperti kebohongan yang terlambat ditepis. Di kolong Tol Meruya, cahaya lampu jalan memantul di permukaan air setinggi sepinggang. Di tengahnya berdiri Pak Saiman, petugas lalu lintas yang sejak tadi lebih banyak bicara pada kodok daripada pada manusia.
"Katanya jalan, tapi ini kolam," gumamnya.
Ia menendang plastik kopi yang mengambang pelan seperti niat hidup pegawai yang gajinya belum cair.
**
Dari kejauhan, sepeda motor terhenti. Pengemudinya menatap air dengan tatapan seperti mahasiswa yang baru sadar SKS-nya kurang.
"Bisa lewat, Pak?" tanya si pengendara.
Pak Saiman menunjuk air, lalu menunjuk paha sendiri. "Kalau motormu amfibi, silakan."
Si pengendara mundur perlahan. Ia tahu: di Jakarta, banjir bukan musuh. Ia cuma sahabat lama yang selalu datang tanpa undangan.
**