Mohon tunggu...
OtnasusidE
OtnasusidE Mohon Tunggu... Petani - Petani

Menyenangi Politik, Kebijakan Publik dan Kesehatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | 2 Perempuan dengan Tiket Sekali Jalan

13 September 2018   21:47 Diperbarui: 13 September 2018   21:54 848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Espresso I Foto: OtnasusidE

Perempuan Pertama

Apa yang tidak ada padanya. Cantik memiliki penghasilan tetap. Memiliki asuransi kesehatan. Memiliki rumah. Memiliki motor dan mobil. Bodi sehat dan terawat serta terlatih.

Secara umum perempuan ini ada di atas rata-rata. Pendidikannya pun perguruan tinggi ternama di Jawa.

Ramah dan juga jelas menjadi tempat kaum lelaki untuk cuci mata. Tak perlu obat mata kalau kelilipan, cukup arahkan pandangan mata ke si perempuan maka mata perih akan sembuh dengan sendirinya.

Perempuan ini setiap hari menjelajah jalan menikung, jalan di kebun, jalan di persawahan, jalan yang menjadi pemandangan khas Bukit Barisan Sumatra. Seminggu lima kali dilakoni dengan senyum. Kalau terpaksa menginap di tempat tugas karena sesuatu hal, tetap dilakoni dengan cinta.

Semenjak berkenalan, tak pernah berbicara mengenai keluarga, agama ataupun bertanya mengenai hal-hal yang bersifat pribadi. Semua yang dibicarakan lebih banyak ke hal-hal yang berkutatan dengan pekerjaan di lapangan.

Satu waktu di temaram tepian Sungai Lematang. Perempuan ini mengajak bertemu. Pertemuan sempat tertunda beberapa kali karena diriku harus ikut ke kalangan menjual ayam dan telur ayam.

Perempuan ini datang dengan pakaian kasual. Tubuhnya yang terlatih terlihat jelas setelah jaketnya di lepas, tinggal kaos polo saja yang membalut tubuh perempuan yang masih menjomblo ini --gosip yang beredar di kalangan lelaki.

Daku terkejut ketika dari jaketnya dikeluarkan sekotak rokok mentol. Tangannya yang lentik dengan lincah memantikkan api dari pemantik. Satu kali sedotan dalam, dan asap berpola lingkaran keluar dari mulutnya.

Perempuan ini ternyata memiliki rahasia yang tak kuketahui. Aku tak menyangka kalau dia perokok dan pandai merokok. Aku sebut pandai karena dia begitu menikmati setiap tarikan sedotan dari rokok dan mengeluarkannya dengan aneka bentuk.

Seorang perempuan menawarkan aneka kopi dan makanan di pinggiran lematang. Dipesanlah dua gelas, satu kopi hitam dan satu cappucino serta satu piring pisang goreng keju. Daku hanya memesan kopi espresso.

Aliran Sungai Lematang musim kemarau ini terlihat samar dari tempat duduk kami yang berada tepat di garis sepandang sungai. Angin sepoi malam yang menerpa wajah kami pun belum membukakan satu katapun sebagai kata pembukaan pertemuan.

Ketika tadi bertemu pun tidak ada kata yang keluar dari mulutku ataupun mulutnya. Kata yang keluar adalah ketika memesan makanan dan minuman pada pelayan.

Akupun jengah untuk memulai keterkejutanku pada perempuan yang kuanggap sempurna ini. Hal yang sama sepertinya terjadi pada si perempuan. Apakah kesunyian ini akan terus berlanjut sampai pesanan kami datang. Aku tak tahu.

"Terkejutkah kalau aku perokok dan tidak sesempurna seperti perempuan pada umumnya?," tanya si perempuan membuka pembicaraan.

Aku yang bertubuh mbulet, hitam dan jarang gunting rambut serta tak pernah berpakaian yang baik berusaha untuk berkata, tetapi mulutku terkunci.

"Apa komentarmu kalau aku mulai sekarang menunjukkan pemberontakan yang ada dalam diriku yang sebenarnya. Aku bukan perempuan baik-baik seperti yang dibayangkan oleh orang banyak. Aku perempuan yang tak bermoral," katanya nyerocos.

Keningku yang memang sudah berlipat menjadi berkerut. Dan akhirnya aku bisa mengeluarkan keberanian untuk mengatasi keadaan dari keterkejutanku.

"Kamu ngomong apa? Lebih baik kau simpan saja apa yang ingin kau katakana padaku. Janganlah diumbar. Lepaskanlah ketika kau berlari. Lepaskanlah ketika kau aerobik," kataku.

"Aku kira kau lelaki bajingan seperti yang lain. Mau mendengarkan curhatan perempuan dan kemudian mengambil keuntungan dari perempuan yang curhat. Menciptakan ketergantungan curhat dan kemudian cinta-cintaan setepuk dua tepuk kemudian ditinggalkan," kata si perempuan.

"Setelah... ternyata dia tidak berani meninggalkan istri dan anak-anaknya,".

"Berhentilah. Stop. Besok lari pagi  ya.  Cuma aku tidak sekuat dirimu. Aku akan di lapangan. Aku tak ingin mendengar ceritamu.  Ndak  usahlah diumbar itu cerita. Kalau sekarang kau mau merokok. Silahkanlah. Tunjukkanlah apa yang ingin kau tunjukkan. Nggak usah lagi bersembunyi," kataku tegas.

Pesanan datang dan kami pun menikmati kopi dan camilan ringan. Sepoi angin malam di musim kemarau di tepian Lematang kembali bercerita mengenai pekerjaannya dan daganganku ayam, dan telur di kalangan kawasan Besemah.

Perempuan Kedua

Jabatannya di pemerintahan sudah tinggi. Ban hitam sebuah cabang olahraga bela diri. Waktu muda sering ikut kejuaraan.

Tubuh atletis. Betis putih keras. Tahu karena pernah sedikit tersingkap dari celana seragam bela dirinya ketika melakukan tendangan.

Berbibir tipis. Rambut dicat pirang dan kalau terkena matahari agak  shiny.

Dikenal sebagai janda gaul. Ramah dan memang cantik sejak kuliah. Semua temannya pun mengakui hal tersebut.

Ada begitu banyak versi dari janda ini. Walau begitu tidak banyak yang bisa menyingkapnya kecuali betisnya yang putih keras.

Apakah aku beruntung bisa melihat betisnya? Ataukah itu justru malapetaka.

Kami tak pernah berkontak secara resmi. Kalau ada pertemuan lebih kepada kejadian yang tak sengaja. Kami bertemu dalam sebuah even juga lebih pada kebetulan. Percakapan basa basi dan kemudian bertanya kabar kabari setelah itu berpisah.

Hingga pada satu waktu. Tanpa di sengaja kami sepesawat menuju sebuah kota yang sama dan sama-sama mengurusi atasan masing-masing.

Tinggal pun di hotel yang sama dengan kegiatan. Kami sama-sama memastikan tempat kursi dan meja sehingga ketika atasan masing-masing datang sudah tidak gelagapan lagi mencari tempat duduknya.

Acara berakhir dan atasan masing-masing sudah masuk ke kamarnya masing-masing. Kami yang tinggal di hotel yang sama pun juga ingin beristirahat setelah lebih dari 18 jam bekerja.

Tiba-tiba ada telepon hotel yang membangunkanku. Dari seberang, suara seorang perempuan dengan suara serak, memintaku untuk keluar dan bertemu di restoran hotel. Kepala yang masih berat pun memilih untuk turun ke bawah.

Di meja yang temaram kulihat si perempuan duduk memainkan gawainya. Rambut keriting kecilnya kini dibiarkan mengembang sebahu, berbeda dengan gayanya ketika bertugas yang diikat.

"Vik kini mau masuk kuliah. Apa yang harus kulakukan?," katanya memulai pembicaraan.

"Kuliahkanlah," kataku acuh.

"Jurusan apa yang terbaik menurutmu sebagai seorang lelaki kalau kau punya anak lelaki?," katanya mendesak.

"Jangan tanya aku. Tanyakanlah keinginan si anak itu maunya apa?," kataku sambil menyeruput kopi.

"Kau tak mau mendengar keluh kesahku?," katanya.

"Ialah. Bahaya. Itu tidak bagus. Hancurkanlah keluh kesahmu dalam hati. Tegarkanlah dirimu sebagaimana ketika kau memutuskan untuk bercerai dengan suamimu," kataku sambil menghabiskan kopi.

"Mau kah kau menemaniku sampai pagi nanti. Aku ingin tidur ditemanimu,".

Perempuan yang sangat keras ini ternyata eh ternyata. Punya rahasia yang cuma diriku yang tahu.

Perempuan itupun polos berganti gaun tidur. Tergolek lelah di tempat tidur.

"Terimakasih sudah menemani," katanya lirih.

Tak sampai dua puluh menit perempuan itu tidur karena kelelahan. Akupun memasangkan selimut ke tubuhnya yang polos berantakan. Aku terlelap di kursi di samping tempat tidurnya. Menjaganya seperti anjing penjaga yang setia pada seorang perempuan yang memiliki dua anak lelaki.

Tiket Sekali Jalan

Siang itu di bandara, aku tersenyum. Dua perempuan yang kukenal cantik plus seksi dan bisa mencari duit sendiri ternyata terkapar oleh janji lelaki. Lelaki yang bikin mereka rela menyerahkan semuanya. Hati, kepercayaan, dan juga cinta.

Keduanya terjebak oleh tiket sekali jalan. Sebuah tiket mematikan dan membunuh kebahagian yang sebenarnya semu. Sebuah tiket yang baru diketahui ketika si perempuan pada satu titik kesadaran roda yang berputar-putar di situ-situ saja.

Ketika si lelaki tak berani menikahi. Ketika si lelaki ternyata hanya menikmati ataupun hanya mengisi kekosongan dari istri mereka masing-masing. Mereka menjamah perempuan-perempuan yang tak berdosa yang kemudian menjadikan perempuan pendosa karena sudah menipu istri lelaki. Ibaratnya seperti bola pingpong. Susah untuk memutuskan siapa yang bersalah dan yang memulai.

Singkatnya sebenarnya cuma satu, bertepuk tangan tak mungkin sebelah tangan. Bertepuk itu dengan dua tangan.

Kalau ada yang bilang kok nggak  move  on-move  on ya karena memang tak mudah untuk  move on. Jebakan tiket sekali jalan itu sudah menggurat dalam dan menjadi luka yang sukar tersembuhkan. Luka menjadi dendam.

Aku harus transit di bandara. Aku ingin segera sampai. Walau malam aku ingin lewat di taman mawar putih. Tumbuhan itu sudah menjangkar di hatiku, menjaga agar emaknya tak cemburu. Aku tak ingin memberi tiket sekali jalan pada perempuan lain. Cukuplah aku memberi tiket pada emaknya mawar putih.

Salam Kompal

Dok. kompal
Dok. kompal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun