Mohon tunggu...
Harun Anwar
Harun Anwar Mohon Tunggu... Desainer - Menulis sampai selesai

Lelaki sederhana yang masih ingin tetap tampan sampai seribu tahun lagi

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Kapan Saat yang Tepat untuk Resign?

19 November 2021   10:40 Diperbarui: 30 November 2021   03:00 1432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi resign | Shutterstock via Kompas.com

Dua tahun belakangan ini dunia yang selama berabad-abad lamanya tampak bersahaja bagi kehidupan milyaran manusia berubah menjadi sebuah ruang raksasa yang berisi ketakutan dan kekhawatiran tak berujung. 

Nyaris di semua negara, sektor ekonomi merasakan dampak yang tak sedikit mengakibatkan babak belur bagi setiap pelaku usaha di semua lapisan. 

Angka pemutusan hubungan kerja naik signifikan seiring ketidakmampuan perusahaan untuk tetap memutar roda bisnisnya akibat pandemi. 

Hal ini tentu berimbas langsung pada jumlah pengangguran di berbagai negara. Katakanlah di tanah air sekarang ini.

Menurut data BPS saja penyumbang tertinggi angka pengangguran dalam negeri datang dari golongan millenial dengan rentang usia 21-29 tahun di mana usia itu sendiri adalah usia produktif. 

Pandemi juga secara langsung telah mengubah pola sebaran pekerja di dalam negeri di mana terjadi banyak peralihan dari satu sektor ke sektor lainnya. 

Tak sedikit anak muda yang memilih dunia kerja informal dibanding yang formal dengan pertimbangan kebebasan serta mobilitas, juga tentu saja bayang-bayang PHK yang sewaktu-waktu bisa muncul seperti situasi sekarang ini.

Di kala angka pengangguran naik, sementara ketersediaan lapangan kerja yang terus diupayakan pemerintah dirasa belum sanggup melakukan penyerapan, seperti membuka penerimaan calon pegawai negeri sipil, mengundang investor masuk ke dalam negeri untuk turut menyediakan lapangan pekerjaan melalui pembangunan industri baru di berbagai daerah.

Banyak anak muda hingga segelintir dari kalangan tua malah memilih melepaskan pekerjaan yang bertahun-tahun dilakoni. 

Harapannya beragam, satu dan yang tak muluk-muluk adalah paling tidak bisa tetap survive. Sedang sebagian lainnya beranggapan bahwa dengan meninggalkan pekerjaan sebelumnya dan memilih usaha informal dapat melepaskan diri dari ketergantungan terhadap dunia kerja formal yang penuh tuntutan.

Di sisi lain, keputusan memilih dunia kerja informal juga akan membuka peluang kerja bagi orang lain untuk masuk dunia kerja yang banyak ditinggalkan serta di satu sisi juga beberapa yang mantap membangun usaha sendiri setidaknya bisa menarik tenaga kerja baru. 

Pola sebaran tenaga kerja semacam ini muncul sebagai jawaban dari pandemi yang tak kunjung berkesudahan. Banyak dari kita yang tak menyadarinya, bahkan pemerintah sekali pun.

Tren resign dari pekerjaan sendiri sebenarnya tengah ramai dibicarakan beberapa bulan terakhir. 

Di Amerika bahkan muncul kasus Great Resignation di mana gelombang pekerja memilih mundur dari pekerjaan. Angkanya pun tergolong tinggi, bahkan mencapai 2,9% dari populasi tenaga kerja di sana. 

Penelitian sampai kini belum menemukan jawaban pasti kasus ini. Hanya sejumlah spekulasi yang muncul dari sedikit kalangan perihal Great Resignation di Amerika. Hal ini pun sejatinya juga terjadi di tanah air. Hanya saja angkanya yang cenderung sangat kecil membuat ini tak tampak di publik.

Keputusan resign dari pekerjaan tentu saja sesuatu yang serius. Itu akan melibatkan pemikiran panjang, di mana seringkali berakhir perdebatan bagi pelakunya yang telah berkeluarga. 

Resign seringkali dianggap kemunduran bagi banyak orang. Bayang-bayang keterpurukan dalam masyarakat bahkan tak jarang menghantui pelaku resign. 

Namun bagaimana pun itu jika resign dirasa merupakan hal paling masuk akal untuk diambil, maka lakukanlah, selama tentu saja ada pertimbangan serius di dalamnya dengan perhitungan yang juga baik.

Nah, bagi kamu yang saat ini mulai berpikir untuk resign, cobalah perhatikan hal-hal berikut sebagai bahan pertimbangan kapan baiknya untuk resign.

Pertama memperhatikan kenyamanan. Dari banyaknya kisah orang-orang yang resign dari pekerjaan, alasan paling krusial adalah rasa nyaman yang hilang perlahan-perlahan di dalam dunia kerja. 

Ini barangkali tampak sepeleh, tapi bagi orang yang menyeriusinya, kenyamanan tentu saja punya pengaruh telak terhadap pekerjaan. 

Rasa tidak nyaman cenderung menjauhkan seorang pekerja dari produktifitasnya. Terlebih jika banyak upaya telah dilakukan untuk meraih kembali kenyamanan itu tak jua berhasil, maka mempertimbangkan mundur adalah pilihan terbaik.

Rasa tak nyaman dalam dunia kerja sendiri sejatinya tak mungkin muncul dari luar. Itu pasti sesuatu yang asalnya dari internal pekerjaan itu sendiri. 

Bisa saja dari rekan kerja, atasan, sistem pekerjaan yang berubah dari sebelumnya sehingga ritme kerja pun kian tak jelas. 

Kenyamanan itu adalah sebuah harga yang tak bisa diganggu. Jika ia sudah sampai mempengaruhi mutu kerja maka ia tak akan baik bagi kelangsungan pekerjaan itu. Efeknya akan ke diri sendiri.

Kedua adalah memiliki rencana masa depan yang baru. Hidup yang terarah tak bisa lepas dari rencana-rencana masa depan. 

Dengan perencanaan dini seseorang paling tidak bisa membuat persiapan yang jelas. Dunia kerja yang monoton sedikit banyak telah menguras fokus hidup seseorang. 

Ini memicu munculnya rencana untuk memperoleh yang lebih baik lagi. Katakanlah dari segi ekonomi, waktu luang bersama keluarga, kesehatan, dan sebagainya. 

Kehidupan modern yang penuh tuntutan melahirkan perilaku beragam dari manusianya untuk menjawab tantangan-tantangan yang silih berganti.

Rasa tak puas kerap kali menjadi kambing hitam atas keputusan seseorang memilih resign, namun kesadaran bahwa hidup tak bisa terus-terusan terjebak di titik yang sama juga patut diperhatikan. 

Jika sudah ada rencana hari besok dengan perhitungan yang baik, maka tak ada salahnya memilih resign dari pekerjaan. 

Lakukanlah semuanya dengan sebaik mungkin. Toh rezeki tak pernah tertukar, meski pekerjaan terus berganti.

Ketiga, kesiapan. Bagaimana pun seseorang harusnya tidak bisa mengambil setiap keputusan dengan tergesa-gesa. Apalagi terkait pekerjaan. 

Alasan kenyamanan saja tak bisa membuat seseorang untuk mundur dari pekerjaannya. Dan terkait rencana-rencana mendatang, apa pun itu tetap saja ada perhitungan-perhitungan khusus. 

Seseorang harus punya kesiapan saat memilih resign. Lebih-lebih lagi bagi mereka yang sudah berkeluarga. Segalanya harus dirundingkan. 

Paling penting adalah kondisi ekonomi rumah tangga. Jangan sampai timbul korban lain dari apa yang sudah dikorbankan sebelumnya. 

Kalau semua persiapan dirasa cukup, segala pertimbangan sudah dilakukan, dukungan keluarga sudah didapat, maka melangkahlah!

Resign tak selalu buruk. Tidak juga selalu berakhir baik. Dunia ini mencatat banyak sekali konglomerat yang kesuksesan bisnisnya bermula dari keputusan besar bernama resign. 

Tak sedikit juga segelintir orang di sekitar kita yang keterpurukan hidupnya itu justru datang dari ketidakcermatannya atas keputusan resign di masa lalu. 

So, jika muncul ide resign di kepala saat ini, pastikan itu bukan sekadar ide. Pastikan itu adalah langkah cerdas yang berkelanjutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun