GOR Lila Buana terletak lebih kurang satu kilometer arah utara dari rumah. GOR yang dibangun masa presiden Sukarno masih berdiri kokoh. Walau beberapa bangunannya sudah mulai terlihat tua.
Lapangan tennis ada di sisi selatan bagian timur. Dua lapangan bagian tengah dan barat adalah lapangan bulu tangkis dan basket.
Ada tiga berjejer lapangan tennis. Semuanya masih kosong. Masih sepi. Belum ada yang main. Riuh terdengar dari arah gedung bulu tangkis. Rupanya ada klub yang sedang bertanding.
"Kau harus lebih dulu ada di sana. Sebelum penjaga lain datang. Kalaupun ada yang merebut, kau tanya ke pemainnya. Siapa yang akan dipilih. Ingat, jangan sampai berkelahi," terngiang pesan Sang Kakak.
"Iya..jangan sampai berkelahi," desisnya sembari menghentak-hentakan sandal jepit ke lantai lapangan. Merontokkan debu yang melekat di kedua kaki.
Tiba-tiba Dorge tersentak. Lamunannya bak tersambar petir. Matanya sontak menoleh ke arah pintu masuk.
"Heeyy...siapa kau..? Awas ya..semua lapangan ini aku yang jaga. Jangan macam-macam kau..!" seseorang menghardik. Badannya lebih tinggi. Gelap. Bertopi lusuh. Jalannya sedikit pincang. Usianya terlihat jauh melebihi Dorge.
"...Iya..iya..pak.."sahut Dorge sekenanya.
Jantung dirasa berdegup kencang. Badan tetiba hangat. Sepoi angin tak mempan meredam. Dorge masih berdiri. Menyandari tembok di bibir lapangan. Satu kaki menyiku menyetut tembok. Dua pohon besar nan rindang seakan menyenyuminya.
".. Uugh..kurang ajar...dia sendiri. Di sini ada tiga lapangan. Mana mungkin?"desisnya melototi lantai lapangan.
Sekali menoleh lelaki gelap itu sudah hilang dibalik pintu masuk. Entah ke mana. Matanya menyapu sekeliling lapangan. Sepi.