Sehari yang tergerus cepat meninggalkan jejak kesibukan masing-masing. Kita punya mata ingin bicara. Saat berbicara kita ingin menatap mata. Selebihnya hanya bunyi-bunyian yang diatur oleh lidah serta benda-benda.
Bunyi-bunyian mengeja belajar dalam jaringan. Seorang nenek memuji jahitan cucunya. Tukang tambal ban mengempeskan ban. Serta bunyi lonceng yang mengakhiri malam.
Di sebuah kamar hening, pemusik menata nada dengan alat musik. Seorang perempuan mengeluhkan suaminya yang tak kunjung pulang. Seorang petani memuji hujan yang menyuburkan sawahnya dan seorang guru rindu suara kotak pensil yang dibuka oleh murid-muridnya.
Bunyi juga berkata-kata. Dibisikkan. Diledakkan oleh amarah. Direbus oleh pemberontak. Dideklamasikan oleh pembaca puisi serta ditimbang oleh hakim sebelum dibaca saat sidang.
Bunyi menuntun kita menghindari terperosok ke jurang. Mendendangkan alunan bagi penari serta penanda bagi jasad yang membujur kaku. Bunyi menggema dalam lagu pujian kepada Tuhan, sebagai motto dalam hidup beragam: "Hargai Perbedaan, Seperti Menghargai Dirimu Sendiri."
Bunyi sebagai ikrar setia pernikahan, mengumpamakan cinta seperti berkas mentari pagi yang hangat dan suara gigi gemeletak menahan gigil. Dan kita selalu merindukan bunyi-bunyi yang sejuk bersahaja lagi arif.
Kita pun sebenarnya bisa mendengar jejak bunyi hari ini, dari celoteh bocah maupun berita yang ditayangkan televisi.
SINGOSARI, 13 Agustus 2020