Mohon tunggu...
Haryadi Yansyah
Haryadi Yansyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

ex-banker yang kini beralih profesi menjadi pedagang. Tukang protes pelayanan publik terutama di Palembang. Pecinta film dan buku. Blogger, tukang foto dan tukang jalan amatir yang memiliki banyak mimpi. | IG : @OmnduutX

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Saat Institusi Mengubah Standar Tinggi Badan Calon Anggota Baru, Apa karena Stunting?

29 September 2022   16:27 Diperbarui: 30 September 2022   09:38 1364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ajakan sadar stunting sejak dini. Sumber: Kompas.id/Hendra A Setyawan

Beberapa waktu lalu muncul kehebohan di dunia maya terkait salah satu institusi yang mengubah persyaratan tinggi badan calon anggota mereka dengan batasan tinggi yang lebih rendah. Institusi ini meyakini bahwa dengan adanya aturan terbaru ini, akan lebih banyak mengakomodir mereka yang tingginya kurang untuk bergabung.

Namun, kericuhan terjadi di berbagai kanal sosial media. Ada yang menyambut positif, namun juga ada selentingan kabar jika persyaratan itu sengaja diubah untuk meloloskan salah satu anak petinggi institusi tersebut.

Komentar warganet di akun instagram @kumparancom
Komentar warganet di akun instagram @kumparancom

Warganet lain yang mengaitkan hal ini dengan stunting. Sumber gambar instagram @kumparancom
Warganet lain yang mengaitkan hal ini dengan stunting. Sumber gambar instagram @kumparancom

Yang menarik lagi, saya menemukan beberapa komentar warganet yang mengaitkan hal ini dengan stunting. "Maklum banyak anak stunting," tulis pemilik akun instagram @mey.zahra_ di salah satu akun berita. Komentar dari pemilik akun @adamdzu pun sama, "prajurit kok stunting," sahutnya.

Lantas, apakah benar perubahan aturan itu ada kaitannya dengan "fenomena" stunting ini?

Stunting di Indonesia

Mungkin belum banyak orang yang familiar dengan istilah stunting ini. Itu adalah kondisi gagal tumbuh pada balita akibat kekurangan gizi di 1000 hari pertama dalam kehidupannya sehingga pertumbuhan anak tidak berjalan sesuai rata-rata pada usianya. Uniknya, cara penghitungannya ternyata sudah dimulai dari masa kandungan hingga kemudian anak berusia 2 tahun.

Dicek sejak awal agar tidak terkena stunting. Sumber gambar www.worldbank.org
Dicek sejak awal agar tidak terkena stunting. Sumber gambar www.worldbank.org

Cara paling mudah dan sederhana untuk mengetahui anak yang terkena stunting tentu saja dilihat dari fisiknya. Umumnya anak ini bertubuh pendek dan kecil. Masalah yang muncul pada kehamilan, persalinan, pemberian asi dan MPASI yang tidak cukup nutrisi dapat menyebabkan anak menjadi kerdil. Tak hanya itu, pola asuh dan lingkungan yang buruk juga rupanya dapat menyebabkan risiko lebih besar terkena stunting.

Lantas apa yang terjadi dengan anak yang terkena stunting? Apakah sebatas fisiknya yang lebih kecil saja? Ternyata tidak. Imbasnya ternyata lebih luas yakni berpengaruh ke tingkat kecerdasan, gangguan berkomunikasi dan bersosialisasi hingga kesulitan dalam belajar.

Angka prevelensi di tahun 2019. Sumber gambar https://kompaspedia.kompas.id/
Angka prevelensi di tahun 2019. Sumber gambar https://kompaspedia.kompas.id/

Anak yang mengalami stunting juga kekebalan tubuhnya rendah sehingga mudah terserang penyakit infeksi, diabetes, hipertensi dan obesitas hingga dewasa. Ironisnya, berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) dari Kementerian Kesehatan, prevalensi (yakni proporsi dan populasi) balita yang mengalami stunting di tahun 2021 itu mencapai 24,4% atau setara hampir seperempat total balita di Indonesia.

NTT, NTB, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Aceh adalah 7 provinsi dengan angka prevalensi stunting tertinggi.

Lantas, apakah Pulau Jawa dapat dikatakan aman dari stunting? Rupanya tidak. Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Banten ternyata menjadi provinsi dengan jumlah balita stunting terbanyak diikuti oleh Sumatra Utara sebagai provinsi satu-satunya di luar pulau Jawa.

Ilustrasi seputar stunting. Sumber gambar cdn.tmpo.co
Ilustrasi seputar stunting. Sumber gambar cdn.tmpo.co

Jadi, dengan data tersebut, masing-masing daerah memiliki risiko yang sama dalam menghadapi stunting ini. Idealnya memang, semakin modern kotanya, pemahaman dan pencegahan stunting semakin baik. Tapi rupanya ada banyak sekali aspek yang di balik ini yang membuat pemerintah kita terus berjuang agar angka stunting ini semakin berkurang.

Lantas Bagaimana Pencegahannya?

Beberapa provinsi yang disebutkan di atas, sepengetahuan saya kebanyakan orang-orangnya menikah di usia muda. Undang-udang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang telah diperbaharui dengan UU Nomor 16 Tahun 2019 mengatur usia minimal menikah adalah 19 tahun baik pria ataupun wanita.

Namun, Indonesia yang majemuk ini dan juga masih berpatokan pada aturan adat dan agama di beberapa aspek termasuk pernikahan yang abai terhadap aturan di UU tersebut. Misalnya saja, di Desa Lubang Buaya, Kecamatan Setu, Kabupaten Bekasi, masih ditemukan anak usia 12 tahun yang sudah dinikahkan.

Bayangkan saja, usia anak menjelang remaja lalu dihadapkan dengan dunia pernikahan tanpa pengetahuan dan pembekalan yang cukup, maka risikonya sangat besar. Yakni kelahiran prematur, berat badan bayi lahir rendah (BBLR) dan pendarahan persalinan yang dapat meningkatkan risiko kematian ibu dan anak.

Harapan bangsa ada pada mereka. Jangan sampai mereka terkena stunting. Sumber gambar https://img.inews.co.id/
Harapan bangsa ada pada mereka. Jangan sampai mereka terkena stunting. Sumber gambar https://img.inews.co.id/

Usia sama tapi tinggi berbeda. Sumber gambar https://static.republika.co.id/
Usia sama tapi tinggi berbeda. Sumber gambar https://static.republika.co.id/

Jikapun keduanya selamat, sang ibu muda harus berjibaku dengan momok baby blues atau yang lebih parah yakni post tantrum depression yang banyak dialami oleh wanita pasca melahirkan. Jika kondisi mental rapuh seperti ini, jelas pola pengasuhan bayi juga akan terganggu. Terlebih jika tidak ada support system dari orang-orang terdekat.

Jika sudah begini, jangankan mau memberi perhatian khusus kepada anak, sang ibu saja masih harus berjuang mengatasi gejolak mental yang ia hadapi.

Saat seseorang memutuskan untuk menikah, ada banyak hal yang harus dipersiapkan. Terutama soal kemampuan finansial dan kesiapan mental. Kata orang, pernikahan adalah pembelajaran seumur hidup. Ada banyak sekali aspek yang harus senantiasa diupgrade ilmunya. Ya salah satunya tentang persiapan kehamilan, kelahiran dan pengasuhan anak/parenting.

Dukungan dari keluarga juga sangat penting. Tak jarang ada istri yang tak begitu diperhatikan sama suami, orang tua/mertua sehingga gagap dalam menjalani kehidupan pernikahan. Jika akhirnya pernikahan usia muda tak dapat dihindari, maka yang harus dilakukan seorang calon ibu ialah memahami bahwa penting untuk memenuhi kecukupan nutrisi selama kehamilan dan menyusui.

Pernikahan anak usia dini dapat memicu stunting. Sumber gambar rm.id
Pernikahan anak usia dini dapat memicu stunting. Sumber gambar rm.id

Nutrisi yang dimaksud ialah makanan yang mengandung zat besi, asam folat dan yodium yang mana sangat baik untuk pertumbuhan janin dan bayi.

Lalu, usahakan dapat memberi ASI eksklusif dan inisiasi menyusui dini. Walaupun sebagian dari wanita harus berjuang keras memberikan ASI eksklusif. Baik dikarenakan faktor internal (saat produksi ASI kurang memadai) hingga faktor eksternal yakni keterbatasan waktu sebab sang ibu harus bekerja. Namun, hal ini tentu saja masih dapat disiasati dan dicarikan jalan keluarnya.


Dan, setelah anak sudah cukup usia untuk mendapatkan MPASI (Makanan Pendamping ASI), maka lengkapi pula ilmu tentang itu dan bagaimana penerapannya. Juga yang tak kalah penting ialah senantiasa menjalankan hidup bersih dan sehat agar anak terhindar dari penyakit terutama infeksi.

Sungguh, sekecil apapun usaha orang tua terutama seorang ibu dalam merawat anaknya, tentu akan berdampak besar bagi kehidupan sang anak itu sendiri di masa yang akan datang. Bayi sehat, ancaman stunting dapat dielakkan maka kualitas hidup keluarga tentu juga akan semakin baik.

Pemerintah Juga Tak Tinggal Diam

Walaupun anak adalah tanggung jawab penuh orang tua, namun pemerintah juga memiliki andil yang sangat besar terutama di aspek kesehatan anak. Sebagian besar dari kita beruntung sebab akses layanan kesehatan relatif mudah ditemukan.

Sejak seorang wanita hamil, calon ibu sudah dapat memeriksakan dirinya ke Puskesmas atau Posyandu. Seorang teman yang tengah hamil muda baru-baru ini menceritakan pengalamannya kepada saya saat memeriksakan kehamilannya di Puskesmas.

"Tadi sampai dites darah untuk ngecek apakah ada HIV, sifilis, hepatitis, kadar HB, dsb. Pokoknya lengkap," ujar teman saya Arako. Ketika pulang pun petugas Puskesmas memberikan vitamin dan beberapa informasi yang dibutuhkan bagi calon orang tua.

"Semuanya gratis!" lanjut Arako lagi.

Kelas Ibu Hamil yang digagas oleh Puskesmas. Sumber gambar https://dinkes.tangerangkab.go.id/
Kelas Ibu Hamil yang digagas oleh Puskesmas. Sumber gambar https://dinkes.tangerangkab.go.id/

Sebagai peserta BPJS, proses pengecekan kehamilan hingga nanti melahirkan sepenuhnya tanpa biaya. Ya, dana BPJS memang dikumpulkan dari iuran bulan masyarakat. Setiap bulan Arako menyetorkan iuran bulan BPJS-nya.

Namun, bagi masyarakat tidak mampu, maka tetap mendapatkan layanan kesehatan serupa. Para Penerima Bantuan Iuran (PBI) berupa masyarakat miskin maka iuran BPJSnya akan dibiayai oleh Pemerintah Pusat melalui APBN.

Sebagai gambaran, untuk APBN di 2021, dana sebesar Rp.51,2 triliun atau setara 30,1% dari anggaran kesehatan akan digunakan untuk program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) di mana anggaran itu digunakan untuk membayar iutan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) kelas III sebesar Rp.2,4 triliun dan bantuan iuran PBI untuk 96,8 juta jiwa atau setara Rp.48,8 triliun.

Sumber gambar http://p2ptm.kemkes.go.id/
Sumber gambar http://p2ptm.kemkes.go.id/

Bagaimana dengan APBN di Tahun 2022? Rupanya dalam rangka penurunan stunting, dana sebesar Rp.44,8 triliur sudah disebarkan pada K/L yakni Rp.34,1 triliun dan ke Pemerintah Daerah melalui DAK Fisik sebesar Rp.8,9 triliun dan DAK Non Fisik sebesar Rp.1,8 triliun.

Nah dari info yang saya dapatkan itu saja terlihat keseriusan pemerintah pusat lewat APBN-nya untuk turut menyokong dan menjaga kesehatan masyarakat, bukan! Dan tentu saja itu juga termasuk dalam mencegah terjadinya stunting.

Angka anak penderita stunting memang masih cukup tinggi. Namun, pemerintah menargetkan stunting di Indonesia akan turun menjadi hanya 14% pada tahun 2024. Demi mencapai target itu maka setidaknya jumlah balita stunting harus turun 2,7% per tahunnya.

Bahkan Bapak Muhadjir Effendy selaki Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PKM) mengatakan, "Kita masih perlu upaya inovasi, agar terjadi penurunan sekitar 3 sampai 3,5% per tahun. Sehingga tercapai target 14% tahun 2024 sesuai target Presiden beradasarkan RPJMN bisa tercapai." Sebagaimana yang saya kutip dari situs Kemenkopkm.

Semua bahu membahu saling membantu. Sumber gambar Indonesiabaik.id
Semua bahu membahu saling membantu. Sumber gambar Indonesiabaik.id

Ya, Bapak Joko Widodo sebagai Presiden RI telah memberikan perhatian khusus terhadap upaya penurunan stunting sebagaimana yang ditetapkan dalam Perpres Nomor 71 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting.

Saya kira, pemerintah sangat menyadari bahwa keberlangsungan bangsa ini sangat bergantung dengan generasi mudanya. Ibaratnya, bagaimana Indonesia bisa menjadi bangsa yang maju jika generasi mudanya masih harus berada di bawah bayang-bayang stunting.

Jelas butuh sinergi antara masyarakat dan pemerintah. Di saat pemerintah sudah menyediakan fasilitas kesehatan gratis maka tinggal kesadaran masyarakat yang harus ditingkatkan.

Jadi, apakah benar perubahan kebijakan institusi tersebut karena stunting, jawabannya bisa saja iya ada kaitannya. Bangsa Indonesia memang beda dengan ras kaukasia yang cenderung tinggi. Namun, Peneliti Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan Teknologi Pangan dan Pertanian Asian Tenggara IPB, Prof. Dr. Ir. Dodik Briawan, MCN, mengatakan, "ras tidak berpengaruh kepada pertumbuhan fisik manusia. Hal itu lebih dipengaruhi dengan asupan makanan dan minuman selama pertumbuhan anak."

Jelas harapannya dengan segala upaya pemerintah dan kesadaran masyarakat, jika nanti angka stunting sudah membaik maka standar penerimaan anggota di institusi dikembalikan seperti semula jika anak-anak Indonesia sudah jauh lebih tinggi dan ideal fisiknya.

Penulis bagian dari Kompasianer Palembang
Penulis bagian dari Kompasianer Palembang

Referensi:

1. Katadata.co.id

2. Alodokter.com

3. Stunting.go.id

4. Core.ac.uk

5. Lancar.id

6. CNNIndonesia.com

7. Kemenkopkm.go.id

8. Djpp.Kemenkeu.go.id

9. Sains.Kompas.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun