Mohon tunggu...
Okky Putri Rahayu
Okky Putri Rahayu Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Ngeblog saat senggang

Pernah belajar mencampur larutan kimia, kini lebih suka mencampur kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sepetak Lubang di Bumi

31 Januari 2020   20:13 Diperbarui: 31 Januari 2020   20:10 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tumbuh menjadi pemuda bodoh di kampung yang akses jalannya saja hanya sertu dan batu, tak memberiku masa depan. Apalagi aku juga ogah merantau seperti anak lelaki lainnya. Ya, aku pemuda malas yang hampir main tuyul supaya bisa cepat dapat uang. Beruntung, kampung ini punya pegangan agama yang kuat. Akupun terselamatkan dari sebuah dosa yang terlampau besar, kata pak uztad.

Di kampung ini, ada surau kecil kebanggan warga. Surau yang lebih sering bocor saat musim hujan. Tapi surau itu adalah nyawa dan cermin bagi setiap warga. Karena meski hidup miskin dan tertinggal, tidak tahu harga kurs dollar, suara adzan masih selalu keras dan menggelegar memanggil warga untuk datang. Meskipun hanya sebagian. Karena sebagian lainnya lebih memilih adu jago atau cangkruk ngopi sambil mencomot gorengan.

Speaker super hasil patungan di surau sebetulnya cukup hebat. Selain suara adzan, suara pengumuman kabar kematian juga jelas terdengar hingga ujung ke ujung. Itu juga yang kadang kala kunanti saat memulai hari. Apalagi, pekerjaanku berkaitan dengan kematian seseorang.

Dan di surau itu juga, aku melihat Surti dipersunting pria lain. Yono, anak pak lurah meminangnya dengan iming-iming rumah bagus dan tanah yang luas. Juga janji --yang sudah ditepati- akan menganggap lunas hutang bapak dan ibu Surti. Hal yang tidak bisa kuberikan.

Hari ini, sudah tiga tahun sejak Surti menikah. Dan sudah sembilan bulan juga usia kandungan Surti. Ah, aku makin tak punya harapan. Ada jabang bayi hasil Surti dengan pria lain di perutnya.

Sesekali Surti memang main ke rumah orang tuanya. Sedang Surti kini tinggal di rumah mertuanya di RT 6. Kadang seminggu sekali. Kadang seminggu tiga kali dia berkunjung. Hari yang selalu aku tunggu-tunggu. Hari dimana aku menatapnya dari pelataran surau. Ya, rumah orang tua Surti ada di depan surau.

Hari ini Surti kembali datang. Suaminya tak ikut. Kudengar dari orang-orang, suami Surti suka pergi keluar kota. Kudengar lagi, untuk mencari gadis-gadis cantik yang bisa dibayar untuk senang-senang. Ah, kasian sekali Surtiku. Pasti pedih hatinya jika benar begitu.

Cuaca sedang cerah pagi ini. Surti sedang memakai daster batik warna oranye kombinasi cokelat. Wajahnya tak dipoles bedak namun sudah cerah dan menawan. Bibirnya tak perlu lipstik tapi sudah kemerahan dan memikat. Sungguh cantik kulihat dia dari tempatku duduk lesehan sekarang. Perut buncitnya yang besar bahkan membuat Surti makin indah. Kerudung instan warna krem yang tampak buru-buru dia pakai karena terlihat sedikit miring itu, juga ikut memperindah penampilannya. Sempurna. Pemandangan pagiku lengkap.

Tak lama kulihat Surti menatapku balik. Dia tersenyum. Senyum yang demi itu aku rela menanggung dosa saat ini karena menikmati keindahan istri orang lain.

"Heh, Sapri! Jangan diliatin terus!" bentak Karyo yang tiba-tiba menghampiriku.

Aku berdehem dan membatalkan senyumku. Padahal, ingin sekali kubalas senyum Surti dengan milikku. Senyum dari bibir legam karena masih belum berhenti merokok meski sering kehabisan uang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun