Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Harapan Semu Kenaikan Cukai Rokok

12 November 2022   07:35 Diperbarui: 14 November 2022   16:03 818
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rokok. (sumber: Shutterstock via kompas.com)

Tarikan rokok tiga anak sekolah terlihat begitu nikmat. Sesekali tawa menyelimuti percakapan. Satu demi satu batang rokok terbakar habis. Saya menyaksikan ketiganya dari balik warung milik ibu Satiyem. Masih jalur kaki gunung Merapi. Dijalur Boyolali - Magelang.

Ketiganya saya duga sengaja ke warung kopi ini untuk merokok dan agar jauh dari lingkungan desa tempat mereka tinggal. Tentu, sebagai perokok aktif, saya memahami betul strategi yang diterapkan. Ini dilakukan agar tidak tertangkap saat merokok. 

Ketiganya hanya gambaran kecil dari fenomena perokok di kalangan anak sekolah. Pergaulan menjadi satu-satunya faktor betapa banyak perokok aktif tumbuh pesat. Apalagi di tengah keterbukaan pergaulan dan kaburnya batasan nilai-nilai sosial di dalam keluarga.

Di mana saja, bahkan di lingkungan sosial tempat tinggal, banyak fenomena perokok di kalangan remaja. Belakangan tak segan-segan menunjukan langsung 

Saya memahami betul kondisi ini. Sebagai perokok aktif yang tak bisa jauh dari barang satu ini, saya bermula dari situ. Pergaulan membawa ke coba-coba lalu berujung kepada ketergantungan. 

Saya merokok sejak SMP. Atau sekira 20 tahun silam. Setiap pulang sekolah kami merokok sembunyi-sembunyi. Di rumah teman, pojokan hingga tempat-tempat yang jauh dari jangkauan orang dewasa.

Saat itu, merokok bagi anak sekolah adalah petaka. Sekali kepergok, selesai sudah semua urusan. Di baaa ke sekolah atau ke oranh tua. 

Masyarakat masih care dengan kondisi satu ini sehingga lingkungan ketat selalu tersaji. Walau begitu, manusia punya banyak akal dan trik.

Berhenti hanya terletak pada diri sendiri. Tidak pada kebijakan ataupun penerapan Cukai rokok. Apalagi dengan dalil menurunkan angka perokok dikalangan remaja. Sama sekali tidak efektif.

***

"Cukai rokok naik lagi bang. Harga rokok bakal naik beberapa persen. Berhenti sudah merokok," cetus seorang teman kepada saya saat sedang duduk di warung kopi.

"Emang masalah mas,?" Ledekku.

"Ah salah orang saya ternyata," kesalnya

Kenaikan cukai rokok selalu menjadi pembahasan kami setiap kali penerapan dilakukan pemerintah. Terhitung pembahasan satu ini selalu kami diskusikan berulang kali. 

Tentu efek pertama ialah terkejut. Namun selebihnya biasa saja. Terutama bagi saya  yang seorang perokok aktif. Kenaikan cukai rokok ini tak semerta-merta mengurangi konsumsi rokok atau berhenti merokok. 

Sebab, dalam teori ekonomi manusia selalu punya pilihan dan opsi subtitusi dengan barang yang sama serta harga yang terjangkau. Manusia punya keahlian mengalokasikan pendapatan dengan konsumsi yang seimbang. 

Saya mengalami itu. Sebagai perokok aktif, kondisi kenaikan cukai rokok yang menjurus pada naiknya harga rokok tak pernah menyurutkan niat berhenti merokok. Justru opsi subtitusi selalu tersedia.

Sepanjang menjadi perokok aktif, kenaikan-kenaikan harga hingga saat ini memang nyata terjadi. Saya mengalami itu. Dari harga yang dulunya delapan ribu sekarang bisa mencapai tiga puluh ribu untuk rokok pabrikan.

Dulunya, saya masih membeli sebatang dua batang. Seiring berkembangnya pendapatan, konsumsi menjadi perbungkus. Lagi-lagi soal keterjangkauan dan kekuatan ekonomi seseorang.

Lantas apakah dampak kenaikan rokok dapat menekan angka perokok di Indonesia?

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi

Bagi saya sama sekali tidak berpengaruh. Efeknya hanya pada sektor produksi dan jalinan pasar tembakau.

Ada petani tembakau yang bertanya pada saya, apakah dengan kenaikan cukai  rokok, harga tembakau bisa naik? Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Tergantung lembaga pemasaran seperti apa yang dihadapi petani.

Selama ini kecenderungan produk tembakau melewati sistem yang rumit  seperti pada umumnya. Petani dihadapkan pada pengepul. Di mana harga yang diterima bakal lebih rendah.

Sehingga kenaikan cukai hanya berpengaruh pada produksi perusahaan ketimbang harga di tingkat petani. Harga rokok naik tidak dengan harga jual tembakau.

Kenaikan harga rokok tidak sama sekali menekan angka perokok utamanya perokok kalangan remaja. Sebab, rokok banyak terjual bebas. Bebas membeli dan bebas menjual.

Selain itu, selama perjalanan saya di Jawa dalam  fase penelitian sosial ekonomi, saya menemukan banyak rokok-rokok non cukai yang terjual bebas. 

Rokok pabrikan rumahan yang bersanding dengan rokok pabrikan besar. Seperti perang antara kapitalis dan sosialis di etalase pertokoan.

Banyak sekali merek yang tidak dikenal. Diperjual-belikan dengan bebas. Harganya pun jauh di bawah harga pabrikan. Bisa diperoleh hanya dengan enam ribu sampai sepuluh ribu rupiah.

Tentu hal ini sudah mematahkan dalil menaikan cukai rokok. Sebab iu hanya menyentuh rokok-rokok pabrikan besar. Tidak dengan industri rumahan.

Akses memperoleh rokok dengan berbagai jenis merek rokok sangat mudah. Penjual tentu sangat ingin barangnya laku. Sehingga kontrol apakah yang menbeli anak sekolah atau tidak urusan belakang. 

Rokok sangat mudah dibeli baik anak sekolah bahkan anak yanh disuruh membeli rokok oleh orangtuanya.

Kenaikan cukai rokok memang berdampak pada kenaikan harga rokok. Tapi itu hanya berlaku bagi rokok bermerek dan berbea cukai. Pun dengan dalil menekan angka perokok. Tidak sama sekali berefek lantaran masih biasnya kebijakan yang tidak menyentuh subtansi.

Berhenti merokok hanya dilakukan dengan penguatan edukasi; dari rumah hingga lingkungan pergaulan, pengontrolan jumlah barang beredar; walau sangat tidak mungkin dan regulasi penjualan di toko. 

Selebihnya, kembali pada diri sendiri. Berhenti merokok adalah keputusan pribadi. Karena faktor-faktor yang melatarbelakngi. Tentu tidak ada kebijakan diranah satu ini (sukur dofu-dofu)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun