Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Citayam Fashion Week Milik Siapa?

26 Juli 2022   00:55 Diperbarui: 27 Juli 2022   20:30 1137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebagian anak remaja asal Citayam yang memanfaatkan zebra cross untuk ajang unjuk pakaian di kawasan Dukuh Atas, Jakarta. Foto: Kompas.com/Kristianto Purnomo

Create by the poor, stolen by the the rich " Sebuah slogan nitizen atas usaha kapitalisasi bisnis pada Citayem Fashion Week yang menggema setelah dua perusahaan mendaftarkan ke Ditjen HAKI.

Pendaftaran oleh perusahaan milik Baim Wong dan Indigo dipandang sebagai tindakan mengambil untung dari kreasi yang lahir kreatifitas anak muda.

Penggambaran yang saya tangkap ialah narasi tentang kelas bahwa dan kelas atas. Atau dalam bahasa ekonomi, borjuis dan pemilik modal. Di mana kelas pemodal selalu mempunyai cara untuk melakukan tindakan mengalokasikan sumber daya untuk mencapai keuntungan.

Daya tarik besar dari Citayam Fashion Week beberapa pekan ini rupanya mengundang banyak perhatian. Dari masyarakat biasa, konten kreator, artis hingga politisi. 

Dari yang awalnya hanya nongkrong berubah menjadi ajang fasion yang unik. Dari yang awalnya di hujat menjadi dipuja. Dan tanpa sadar tercipta sebuah kondisi ke ranah materi maupun non materi.


Bagi daerah, pencetus; sosok-sosok sebagai ikon, konten kreator, artis hingga politisi. Semua memainkan peran masing-masing sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai."Sejalan dengan bahasa, dalam setiap momen akan selalu ada yang terangkat dan ada yang terlupakan. 

Satu yang pasti, di setiap momen, fenomena, dan kondisi yang viral selalu menciptakan keuntungan. Paling menonjol ialah keuntungan materi. Baik ketenaran maupun meraup pundi-pundi rupiah.

Selalu ada mencapai keuntungan dibalik viralnya sebuah momen atau gerakan seperti Citayam Fashion Week yang entah apakah fenomena ini bertahan selamanya atau hanya sekedar fenomena musiman. 

Sumber : IG Komik Grontol
Sumber : IG Komik Grontol

Lantas jika demikian, apakah yang dilakukan dua perusahaan di atas dengan mendaftarkan merek Citayam Fasion Week ke Ditjen HAKI?

Secara bisnis tidak salah. Pendaftaran ini dimaksudkan agar ada upaya manajemen sehingga tidak menjadi fenomena musiman. Dan, melahirkan keuntungan bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. 

Namun secara moral, gerakan yang lahir atas kreatifitas anak muda ini seperti di curi hak dan kebebasannya. Upaya mematikan dan mengontrol atas dasar kapitalisasi. 

Belum lagi membicarakan Hak sebagai pemilik intelektual gerakan. Kedua perusahaan bukan pencetus ide "intelektual" yang lahir dari mereka. Inilah narasi " perampasan" yanh di alamatkan nitizen kepada mereka yang bermodal.

Polemik ini bukanlah masalah baru. Dalam dunia bisnis, sering terjadi. Siapa yang menciptakan dan siapa yang memiliki menajdi konflik yang sangat berkepanjangan. 

Saya bisa saja menciptakan, namun saya akan kalah jika tidak mempunyai hak kepemilikan. Sebuah ilmu kelembagaan ekonomi yang masih belum banyak diterapkan di Indonesia.

Secara singkatnya, Property Right dan Hak Kekayaan Intelektual rupanya masih menjadi kelemahan dan belum maksimal diterapkan di Indonesia. 

Apa yang dilakukan Ahmad Dani pada karya-karyanya belakangan ini mungkin bisa menjadi contoh betapa pentingnya kedua aspek di atas. Betapa pentingnya ide bagi si pemilik. Pun dengan musisi lain yang akhirnya meminta royalti kepada musisi cover.

Dua kasus di atas adalah contoh penerapan Hak Kekayaan Intelektual dari karya-karya yang mereka miliki. Perlindungan atas hak itu sangat jelas sehingga tidak ada ambil untung atas "intelektualitas" mereka.

Di Luar Negeri, aturan tentang  Property Right dan Hak Kekayaan Intelektual sangat dijunjung tinggi. Sehingga tak jarang banyak pebisnis, musisi, artis, dll berhadapan dengan konsekuensi hukum.  

Sedikit terdapat kesamaan ide saja dalam sebuah merek atau karya sudah dianggap sebagai "kejahatan". Sehingga tak jarang, pihak yang kalah dalam pertikaian merek dagang membayar dengan jumlah yang tak sedikit. 

"Ide" adalah sebuah mahakarya yang tidak bisa ditelorir bagi siapapun di Dunia Barat. Ia dianggap sebagai pencapaian tertinggi dari manusia yang harus di hargai dan dilindungi.

Ide ini pulah yang kemudian menjadi polemik atas upaya kapitalisasi Citayam Fashion Week. Dilemanya adalah usaha kapitalisasi atas merek atas "ide" yang tercipta.  Sebab, jika usaha ini disetujui maka, segala upaya berbau"merek" punya konsekuensi keuntungan.

Lantas siapakah yang pantas memiliki?

Polemik ini meningatkan saya pada beberapa  film yang saya tonton. Film pertama berjudul " The Founder". Film berdasarkan based on story ini mengambarkan proses berdirinya salah satu waralaba makanan cepat saji terbesar di dunia saat ini.

Di mana seorang pria penjual mesin susu kocok tanpa sengaja menemukan sebuah kedai restoran cepat saji memiliki banyak pembeli. 

Ketertarikannya membawanya memesan 3 buah makanan yang disajikan sangat cepat. Sebuah kondisi yang tidak ada satupun restoran dapat menyajikan makanan dengan cepat pada tahun 50-an tersebut.

Dari sinilah kemudian ia menemui kedua pemilik kedai atau founder dari makanan tersebut. Singkat cerita setelah berbagai upaya terjalinlah kerjasama, di mana outlet-outlet dibangun di seantero Amerika.

Bisnis berjalan lancar, kolaborasi ketiganya membuat makanan cepat saji ini tersebar di mana-mana. Namun karena polemik atas karena provit yang menurun akibat pembangunan.

 Singkat cerita, permasalahan di temukan dan saran akuntan agar pengusaha susu tersebut membeli lahan tempat di mana waralaba berdiri lalu menyewakan kepada waralaba atas ijinnya sesuai kontrak. 

Proses berikutnya adalah mengubah nama perusahaan agar tidak ada lagi kontrol atas kontrak kerjasama dengan dua founder pemilik gerai tersebut.

Jadilah usulan tersebut dilaksanakan dan berjalan dengan baik. Hingga kedua founder awal tak lagi memiliki kekuasaan atas merek yang mereka ciptakan. 

Kesepakatan penjualan saham kemudian menjadi opsi terakhir. Keduanya terpaksa menjual saham tersebut. Menariknya ada sebuah perjanjian di luar kontrak di mana mereka berdua masih memiliki saham satu persen pada usaha tersebut. Namun kesepakatan itu tidak di tanda tangani melainkan hanya disahkan dengan berjabat tangan.

Kondisi tersebut hingha kini menjadi dilema karena tidak memiliki kekuatan hukum untuk digugat. Selain itu, jika kesepakatan atau royalti tersebut tidak dibayarkan hingga kini. Apesnya lagi, keduanya dilarang menggunakan nama produk yang mereka ciptakan.

Film lain yang menggambarkan tentang betapa pentingnya Hak Paten ialah, Film mengenai pencipta Wiper mobil berjudul " Flash Of Genius".

Profesor Robert Kearns yang berusaha memperjuangkan hak patennya yang di curi oleh salah satu Koorporat otomotif besar.

Wiper ciptaannya merupakan wiper ideal pada saat itu. Di mana wiper pada mobil saat itu tidak ideal. Inspirasinya datang ketika ia dilanda hujan dan wiper mobilnya berjalan lambat dan tidak otomatis alias berjalan terus tanpa henti.

Gagasan menciptakan wiper pun kemudian membuatnya menciptakan wiper mobil yang ideal. Ia terinspirasi dari mata manusia yang berkedip selamam beberapa detik.

Singkat cerita ia mendapatkan kesempatan melakukan presentasi di hadapan perusahaan besar tersebut. Namun idenya tidak di terima dan tak ada kejelasan. 

Namun suatu malam, ia begitu kaget menghadiri pameran produk mobil baru. Di mana wiper ciptaannya ternyata dipakai oleh perusahaan tersebut. 

Ia pun lantas meminta kepada perusahaan otomotif agar namanya di patenkan sebaģai penemu wiper tersebut. Namun ia mendapat penolakan.

Alhasil, ia melakukan gugatan hak paten atas ciptaanya ke pengadilan yang dia hasilkan lewat riset panjang selama tiga tahun.

Upaya yang dilakukannya tak mudah. Mulai dari masalah pribadi di mana ia harus ditinggal istri dan anak-anaknya hingga tak mempunyai uang sepersenpun.

Pihak perusahaan tak tinggal diam. Mereka membujuk agar ia mau mencabut tuntutan tersebut kepada mereka lewat kompensasi berupa uang. Mulai dari ratusan dolar hingga mencapai 18.7 juta dolar. Rayuan itu tak mempan, baginya ide adalah hak yang harus dimiliki.

Perjuangan hak paten atas idenya ia menangkan dan perusahaan koorporasi besar tersebut harus membayar hingga 30 juta dolar.

Selain dua kisah di atas, masih banyak film-film based story mengenai ini. Film yang memperlihatkan bahwa ide atas penciptaan, kepemilikan adalah sesuatu yang sangat mahal untuk diperjuangkan. 

Masih banyak kasus yang melibatkan perihal ini. Di mana hak paten atas merek tertentu sering terjadi dan menjadi sajian menarik.

Lantas apakah merek Citayem Fashion Week bisa menjurus kepada pencurian Ide?

Pendaftaran Merek Citayam Fashion Week ke Ditjen HAKI oleh dua perusahaan secara tidak langsung akan mematikan gerak dan kreatifitas anak muda. Justru akan mati dengan dengan ganas. Lantaran ada aturan yang harus di pegang dan di atur oleh manajemen terstruktur.

Tentu, pada posisi ini ada keuntungan dengan tidak menjadikan ini sebagai sebuah fenomena belaka yang akan hilanh jika tiba saatnya. Sehingga komersialisasi dipandang penting. 

Namun bagi saya, sesuatu yang sudah terkomersil nyatanya membuat sesuatu yang murni tak lagi murni. Jika pun demikian, tak perlu menggunakn nama perusahaan perseorangan yang tidak berkaitan sama sekali dengan mereka.

Sebab, Citayam Fashion Week bagi saya bukan sekedar fenomena fashion antar kelas bawah atau kelas atas dengan outfit-oufit bekennya. Atau gerakan yang menghasilkan keuntungan bagi segelintir orang.

Fenomena ini lahir dari wujud kritik sosial atas kreatifitas, ruang publik anak muda. Pemberontakan atas kegagalan pembangunan dari terbatasnya ruang publik.

Maka sesuatu yang lahir atas kritik sosial adalah hak dari kepemilikan sosial. Citayam fasion week adalah milik mereka yang hadir dengan penuh kebanggan dan menciptakan ruang publik sendiri. Ia tak elok dikomersilkan. Atau di menjemenkan karena kritik-kritik tersebut tak akan sampai ke kepala yang berkepentingan.

 (Sukur dofu-dofu)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun