Ide ini pulah yang kemudian menjadi polemik atas upaya kapitalisasi Citayam Fashion Week. Dilemanya adalah usaha kapitalisasi atas merek atas "ide" yang tercipta. Â Sebab, jika usaha ini disetujui maka, segala upaya berbau"merek" punya konsekuensi keuntungan.
Lantas siapakah yang pantas memiliki?
Polemik ini meningatkan saya pada beberapa  film yang saya tonton. Film pertama berjudul " The Founder". Film berdasarkan based on story ini mengambarkan proses berdirinya salah satu waralaba makanan cepat saji terbesar di dunia saat ini.
Di mana seorang pria penjual mesin susu kocok tanpa sengaja menemukan sebuah kedai restoran cepat saji memiliki banyak pembeli.Â
Ketertarikannya membawanya memesan 3 buah makanan yang disajikan sangat cepat. Sebuah kondisi yang tidak ada satupun restoran dapat menyajikan makanan dengan cepat pada tahun 50-an tersebut.
Dari sinilah kemudian ia menemui kedua pemilik kedai atau founder dari makanan tersebut. Singkat cerita setelah berbagai upaya terjalinlah kerjasama, di mana outlet-outlet dibangun di seantero Amerika.
Bisnis berjalan lancar, kolaborasi ketiganya membuat makanan cepat saji ini tersebar di mana-mana. Namun karena polemik atas karena provit yang menurun akibat pembangunan.
 Singkat cerita, permasalahan di temukan dan saran akuntan agar pengusaha susu tersebut membeli lahan tempat di mana waralaba berdiri lalu menyewakan kepada waralaba atas ijinnya sesuai kontrak.Â
Proses berikutnya adalah mengubah nama perusahaan agar tidak ada lagi kontrol atas kontrak kerjasama dengan dua founder pemilik gerai tersebut.
Jadilah usulan tersebut dilaksanakan dan berjalan dengan baik. Hingga kedua founder awal tak lagi memiliki kekuasaan atas merek yang mereka ciptakan.Â
Kesepakatan penjualan saham kemudian menjadi opsi terakhir. Keduanya terpaksa menjual saham tersebut. Menariknya ada sebuah perjanjian di luar kontrak di mana mereka berdua masih memiliki saham satu persen pada usaha tersebut. Namun kesepakatan itu tidak di tanda tangani melainkan hanya disahkan dengan berjabat tangan.