Jika kita berbicara tentang asal-usul nama “Majapahit”, kebanyakan orang mungkin telah mengetahui bahwa nama ini didapatkan dari nama suatu buah yang disebut “Maja” yang memiliki rasa yang “pahit”. Sebab buah “Maja” ini pahit, tempat/lokasi/wilayah ditemukannya buah ini lalu diberi nama “Majapahit”. Cerita tentang asal-usul nama Majapahit ini dapat ditemukan pada naskah Bali versi Sir. Raffles, Serat Pararaton, dan bahkan pada cerita rakyat Sunda - yang di sini, juga berdasarkan versi buku Sir. Thomas Stamford Raffles (1817). Kisah atau penceritaannya itu sendiri sebetulnya cukup sederhana – yang karenanya, mungkin, kebanyakan orang bahkan tidak berpikir untuk menelusuri asal-usul nama ini lebih jauh. Akan tetapi, di balik penamaan “Majapahit” itu sendiri, sebetulnya ada satu premis/presuposisi/pemahaman dasar yang kemungkinannya tidak banyak dipahami oleh orang-orang yang hidup di masa ini; yang karenanya, pemaknaan nama ini kemungkinan besarnya tidak dimengerti oleh banyak orang yang hidup di zaman ini.
Bagi orang-orang yang tidak mengetahui perihal buah Maja, di mana saya sebagai penulis sebetulnya juga menjadi bagian dari orang-orang yang sama, penceritaan tentang asal-usul nama Majapahit kemungkinannya mengarahkan kita pada satu asumsi sederhana bahwa: buah Maja rasanya pahit. Sekali lagi, ini kesimpulan sederhana yang bisa ditarik dari penyebutan nama “Maja-pahit” bagi orang-orang yang tidak mengenal atau mengetahui tentang buah Maja. Menariknya, buah Maja (Aegle marmelos/bila/bael) sebetulnya memiliki rasa yang manis dengan aroma yang harum. Sekarang, dengan membandingkan nama "Maja-pahit" dengan fakta bahwa buah Maja itu rasanya "manis", kita akan mendapatkan satu pertanyaan sederhana: mengapa dalam penceritaan asal-usul nama “Majapahit” buah Maja dikatakan memiliki rasa yang pahit?
Kenyataan bahwa buah Maja sebetulnya memiliki rasa yang manis dengan aroma yang harum inilah yang sesungguhnya menjadi suatu premis/presuposisi/pemahaman dasar yang, kemungkinannya, tidak lagi banyak diketahui oleh orang-orang yang hidup di zaman ini - di sini: orang Indonesia pada umumnya, orang Jawa pada tengahnya, dan orang Jawa Timur pada khususnya. Atau, katakanlah, buah Maja yang memiliki rasa yang manis ini menjadi suatu "premis mayor" yang terlupakan. Dan, saat premis mayor ini tidak lagi dimengerti, premis minornya tidak mencapai kesimpulan yang diharapkan.
Pemahaman dasar/presuposisi/premis mayor bahwa buah Maja rasanya manis ini sesungguhnya cukup penting untuk memahami nama “Majapahit” itu sendiri. Sebab, dengan memahami bahwa buah Maja rasanya manis, tentu kita akan mempertanyakan penambahan kata “pahit” di belakang kata “Maja” tersebut. Dan, penambahan kata “pahit” di belakang Majapahit ini menjadi indikator sederhana namun utama untuk memahami bahwa: penceritaan tentang asal-usul nama Majapahit sebetulnya justru tidak bercerita tentang buah Maja, akan tetapi tentang buah yang serupa dengan buah Maja namun memiliki rasa yang berbeda. Inilah alasan sebenarnya mengapa lokasi/tempat/wilayah ini pada akhirnya disebut sebagai “Majapahit”.
Kesalahpahaman dasar yang disebabkan ketidaktahuan kita tentang buah Maja itu sendiri, pada masa ini, sebetulnya cukup dapat dimengerti dan, mungkin, bisa dimaklumi. Hal ini disebabkan kebanyakan orang Indonesia pada masa ini kemungkinannya tidak mengetahui seperti apa buah Maja itu - tidak seperti kita mengenal semangka, melon, duren, dan buah-buah lainnya. Dan saat kita tidak mengenal buah Maja, wajar saja jika kebanyakan kita tidak memahami bahwa buah ini sebetulnya memiliki rasa yang manis dengan aromanya yang harum.
Penulis sendiri pada mulanya tidak mengetahui bahwa buah Maja ini rasanya manis. Baru setelah saya menyadari bahwa buah ini rasanya manis, kata “pahit” di belakang kata Maja mulai menjadi pertanyaan tersendiri: mengapa harus ada kata “pahit” di belakang kata “Maja”? Pertanyaan yang sebetulnya telah ada sejak saya mulai menulis tentang Majapahit ini baru bisa terjawab belakangan berkat keterangan yang ada dalam cerita rakyat Sunda, situs Wikipedia dari buah Maja itu sendiri, dan logika sederhana yang akan menyingkap “fakta” dari suatu “legenda”.
Maja Manis dan Maja Pahit: Fakta di balik Cerita Rakyat Sunda
Cerita tentang asal-usul nama Majapahit dari sumber-sumber tentang Majapahit yang penulis gunakan, sebetulnya tidak ada dalam sumber-sumber awal tentang Majapahit itu sendiri. Kisah tentang asal-usul nama Majapahit sesungguhnya tidak diceritakan dalam catatan sejarah dinasti Yuan versi meester Willem Pieter (WP) Groeneveldt, Ying-yai Sheng-lan/Yingya Shenglan shifu Ma Huan, dan bahkan dalam Kakawin Nagarakretagama (e)Mpu Prapanca. Penceritaan tentang asal-usul nama Majapahit ini baru penulis temukan dalam Serat Pararaton dan naskah Bali serta cerita rakyat Sunda; di mana kedua sumber terakhir ini sama-sama diceritakan dalam buku Sir. Raffles.
Menilik penahunannya, sumber paling awal dari penceritaan tentang asal-usul nama Majapahit mengarah pada tahun 1465 – tahun penulisan manuskrip Bali yang ada pada buku Sir. Raffles. Dari sini, kita sebetulnya dapat melihat bahwa sumber-sumber tentang asal-usul nama Majapahit, walau “asal-usul” seharusnya berada di depan, sumber-sumbernya justru datang belakangan – katakanlah; entah mengapa. Sumber-sumber yang bercerita tentang asal-usul nama Majapahit ini pun sebetulnya menceritakan inti cerita yang sama, walau mungkin dengan versi yang sedikit berbeda. Namun, di antara sumber-sumber ini, yang cukup jelas dalam menyingkap kesalahpahaman terkait nama Majapahit itu sendiri justru datang dari cerita rakyat Sunda tentang asal-usul nama Majapahit.
Keterangan tentang asal-usul nama Majapahit dalam cerita rakyat Sunda sendiri sebetulnya disandingkan dengan cerita berdirinya Pakuan Pajajaran. Dalam artian, Majapahit dan Pakuan Pajajaran, dalam penceritaan ini, ditempatkan sebagai dua hal yang “setara”. Karenanya, setidaknya dalam sudut pandang ini, sebagaimana nama “Pakuan Pajajaran” begitu juga yang terjadi dengan nama “Majapahit”. Ambil contohnya, nama Pakuan Pajajaran merupakan nama “ibu kota” kerajaan Sunda. Nama Majapahit pun sebetulnya mengarah pada hal yang sama. Dalam catatan shifu Ma Huan, Ying-yai Sheng-lan/Yingya Shenglan (1416), nama Majapahit merupakan tempat “di mana sang raja tinggal” (Groeneveldt, hal. 46 & 48). Dengan alasan inilah, meester Groeneveldt menyimpulkan bahwa Majapahit merupakan ibu kota (kerajaan) Jawa (hal. 55).
Dalam catatan dinasti Yuan, raja Kertanagara (Ka-ta-na-ka-la) sejatinya disebut “raja Jawa”, walau beliau bertempat di Tumapel (Tumapan – Groeneveldt, hal. 23) dan adji Katang disebut pangeran (orang) Kalang yang memerintah dari Daha (hal. 26). Di sini, logikanya, jika raja Kertanagara disebut raja Jawa, otomatis menantunya, tuan Pidjaya, akan menjadi “pangeran Jawa”. Pangeran inilah, dyah Wijaya, yang pada akhirnya mendirikan (kota) Majapahit. Mengapa lalu “Majapahit” pada akhirnya menjadi nama suatu kerajaan? Keterangan dalam situs Wikipedia Pakuan Pajajaran mungkin mampu memberi pencerahan tentang alasan ini. Hal ini disebabkan, setidaknya pada cerita rakyat Sunda, nama Pakuan Pajajaran dengan nama Majapahit sebetulnya mengarah pada penggunaan yang sama – yang karenanya, penggunaan nama Pakuan Pajajaran = penggunaan nama Majapahit.