Mohon tunggu...
Nur Dini
Nur Dini Mohon Tunggu... Buruh - Find me on instagram or shopee @nvrdini

Omelan dan gerutuan yang terpendam, mari ungkapkan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nasib Malang Rentenir

18 Mei 2019   08:04 Diperbarui: 18 Mei 2019   08:08 978
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hallo,

Saya kali ini ingin membahas tentang rentenir.  Saya jamin, pembaca sudah tidak asing dengan istilah rentenir.  Mungkin pernah mendengarnya di siaran berita, alur cerita di sinetron, penokohan di novel, atau justru pernah berurusan langsung dengan rentenir. Hmm.. semoga opsi terakhir bukanlah jawabannya.

Menurut ahli, rentenir adalah perampok waktu, penjahat pada jaman abd pertengahan yang memperjual belikan waktu padahal waktu adalah milik Tuhan (Le Goff, 1979). Rentenir dapat juga diartikan sebagai orang yang memasukkan unsur waktu ke dalam transaksi (Tawney, hal 59-61). Dalam pembahasan saya kali ini, pengertian rentenir lebih cocok disebeut sebagai orang yang membungakan uang (Fithrati dkk, 2010).

Dulu, waktu saya masih sekolah, saya hanya tau rentenir dari televisi atau novel saja, karena setau saya orang di sekitar saya tidak ada yang terlibat dengan rentenir.  Setelah saya bekerja, saya baru sadar bahwa rentenir itu memang nyata, bukan hanya sebagai tokoh sampingan dalam cerita hikayat.  

Saya bekerja di sebuah perusahaan padat karya dengan karyawan mencapai 19.000.  sebagian besar karyawan berpenghasilan sesuai UMK ditambah dengan upah lembur sesuai dengan jam kerja masing-masing. 

Sebagian dari karyawan memiliki kebiasaan untuk selalu tampil up to date, baju dengan trend terbaru, tas paling modis, sepatu ter-hits di instagram, smartphone keluaran terbaru, dan motor ter-macho.  Orang-orang tersebut seolah berlomba-lomba untuk tampik lebih keren dibanding teman sepabrik.  Atau bisa dibilang anti kalah pamor.

Keinginan untuk tampil serba "wah" ternyata tidak sejalan dengan pendapatan.  Kalau jaman SD dulu diajari ungkapan besar pasak daripada tiang, hal itu benar-benar terjadi dengan sebagian karyawan di tempat saya bekerja.  Untuk menutupi kekurangan biaya itu, awalnya mereka akan meminjam ke teman kerja.  Mungkin bagi mereka "hp utang ga apa-apa, yang penting kece".  

Entah karena watak perseorangan atau sudah menjadi budaya, biasanya sekali boleh meminjam uang, maka besok saat perlu pasti akan langsung pinjam lagi pada orang yang sama.  Awalnya bayarnya lancar, makin lama makin seret. Mulanya dibayar tepat sehari setelah gajian, makin lama jadi makin mundur hingga mendekati gajian berikutnya.  Kadang malah sampai berbulan-bulan menggantung begitu saja tanpa kejelasan.  

Jika sudah begitu, biasanya orang yang meminjami akan dongkol atau marah dan tidak mau meminjami oknum itu lagi.  Si oknum yang terhimpit keinginan belanja dan keuangan yang tidak mencukupi akhirnya akan mencari opsi lain.

Opsi lain yang bisa ditempuh oleh oknum gila belanja adalah pinjam ke bank atau koperasi karyawan.  Tapi karena memang hobi beli segala hal dan uang selalu mepet karena kesalahan sendiri, pinjaman ke bank jadi tak dapat mencukupi.  

Dari situ muncullah bibit rentenir, yang bersedia meminjamkan uang kepada yang membutuhkan. Setahu saya, bunga pinjaman ke rentenir sekitar 25%.  Tapi itu hanya kabar yang pernah saya dengar dari cerita teman, saya juga ga pernah menyempatkan diri untuk tanya siapa yang jadi rentenir dan dia pasang bunga berapa.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun