Mohon tunggu...
Ilmiawan
Ilmiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lagi belajar nulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Tembok-Tembok

31 Agustus 2022   01:27 Diperbarui: 3 September 2022   00:15 822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dan aku tak pernah ingin mengetahui ke mana akan dibawa awan-awan itu oleh angin. Apa ujungnya? Akankah ia ingin menurunkan hujan untuk para penganut nestapa di suatu tempat? 

Toh pertanyaan-pertanyaan itu bagai awan yang muncul dan tak pernah bertahan untuk waktu yang lama. Tapi pantatku mulai terasa kesemutan. 

Lantas aku berdiri, dan memijit-mijit pantatku. Aku merasakan aliran darah yang menyangkut itu bergerak-gerak. Dan itu rasanya enak sekali. Aku menoleh ke belakang, dan melihat tembok yang sudah menahan punggungku sedari tadi. Aku merabanya. 

Sedikit lembab, kasar, dan sangat bersahaja. Aku merasakan sebuah ikatan mulai terjalin di antara kami. Dan benar, aku damai. Damai adalah aku dan tembok-tembok itu. 

Bulu kudukku dibuatnya berdiri. Begitupun bulu-bulu di kedua tanganku berdiri hendak copot dari rumahnya. Aku memperhatikannya cukup lama. Lantas menjumpai bahwa lingkaran dinding itu hendak menyapa aku yang berada di dalam perutnya. Aku mendekat dan merapatkan telinga kananku ke tembok itu, kemudian aku memejamkan mata. 

Untuk waktu yang sangat lama. Aku merasakan sebuah ketenangan, seolah seorang nabi tengah memberiku ilhamnya oleh kesunyiannya. Aku terhampar pada sebuah ketenangan yang dirasakan oleh bulu yang mengayun-ayun dihembus angin. Mula-mula aku menikmati, sangat menikmati suasana itu. 

Lantas, lama-kelamaan, aku mulai mendengar suara-suara orang berbicara. Berawal dari sebuah obrolan-obrolan pelan, merambah pada teriakan yang aku tak tahu itu suara siapa. Tapi suara itu begitu familiar. 

Aku sangat mengenal suara itu. Berat. Rasa-rasanya ada sejuta kenangan tak tertulis pada suara itu. Tapi aku tak bisa membayangkan seperti apa rupanya. Kemudian suara itu kian meninggi dan aku mendengar sebuah dunia yang berdiri di dalam kepalaku mengalami kehancuran. 

Sungguh aku tak nyaman mendengar suara itu. Aku yakin wajahku menjadi buruk rupa karena sering mengernyitkan alis dan mengerutkan pipiku dan menggerak-gerakkan mulutku saat mendengarnya. 

Tapi karena aku adalah aku dan kehampaan yang kumiliki, sehingga aku berpikir sudah seharusnya suara-suara itu tak memberi makna apapun untukku. 

Sungguh suatu hal yang absurd saat aku mengetahui bahwa, pada akhir kehancuran sebuah dunia; bangunan-bangunan yang roboh, jalanan yang patah, langit yang berjatuhan, ledakan tabung gas, pecahan piring, serta nyanyian debu yang beterbangan nyatanya adalah wujud yang menyenangkan--setidaknya bagiku itu menyenangkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun