Mohon tunggu...
Ilmiawan
Ilmiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lagi belajar nulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Di Bawah Cahaya Bulan Seseorang Berduka

23 Juli 2021   18:49 Diperbarui: 5 Februari 2024   23:50 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tetapi entahlah, kurasa ia hanya menjalani perannya sebagai antagonis di panggung sandiwara ini.

Jujur saja, aku terharu melihat langit di malam itu. Memang indah sekali. Dipenuhi bintang serta bulan purnama yang bersinar sempurna di atas sana. Angin sepoi-sepoi meniup pepohonan dengan pelan. 

Mata-mata siapa saja yang disapunya pasti diundangnya untuk terpejam. Membuat malam pun tidak berasa panas dan tidak terlalu dingin. Di beberapa sudut kota terdengar suara anjing melolong meramaikan. 

Dengkuran burung hantu yang sedang bertengger dengan mata yang terbuka pun ikut hadir menenangkan malam. Begitupun dengan burung-burung kelelawar, berdansa mesra memetik buah-buahan yang bermekaran di ranting-ranting. 

Tetapi, orang-orang di malam itu banyak memilih untuk menikmati malam di pembaringan mereka, bercanda dan bercumbu ria dengan pasangan mereka masing-masing. 

Berbeda denganku, yang kala itu tengah termenung dengan mata yang berkaca-kaca menatap langit yang cantik di atas sana, menantikan seseorang yang berjanji untuk kan kembali. Penantian damaiku membuat aku pun terlena, sehingga lembaran soal matematika kelas 1 di hadapanku itu kubiarkan tak tersentuh.


Sungguh aku tak pernah menyangka, nyatanya penantian panjangku di malam yang indah itu justru membuahkan sebuah tragedi yang sangat membekas hingga kini. 

Aku harus menyaksikan kematian ayahku sendiri yang mulai tersiar di mana-mana. Radio, televisi. Bahkan orang-orang yang tinggal bersebelahan dengan tempat tinggalku saja sepertinya sudah mulai menggosipkan tentangnya. 

Ah! Tuhan memang suka bercanda. Aku yang masih kanak-kanak diajakNya memaknai arti pengorbanan dengan menipuku di balik keindahan di malam itu, nyatanya Ia malah menjatuhkan kemalangan yang teramat malang kepadaku. 

Saat itu aku tak tahu hendak mengadu kepada siapa, kertas-kertas di hadapanku tak bisa berkata turut berduka cita. Membuatku terus menunggu kehadiran sesosoknya di balik pintu. 

Berharap-harap Tuhan menarik kembali aksinya yang sudah terjadi. Siapa tahu, ayah hanya pura-pura mati dan mencoba menghiburku yang menunggunya di rumah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun