Mohon tunggu...
Anisah Muzammil
Anisah Muzammil Mohon Tunggu... Editor - Editor/Penulis

Penulis lepas/Editor/Mentor Ibu rumah tangga, 4 anak Penulis buku Jemuran Putus www.instagram.com/anisah_muzammil www.facebook.com/anisah.muzammil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terdampar di Pulau Rakata

1 April 2023   12:41 Diperbarui: 1 April 2023   13:12 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Wanita itu meringkuk di sudut geladak kapal. Sambil merapatkan jaketnya, dia menautkan lutut pada perut dengan melingkarkan tangannya seraya membenamkan kepala begitu dalam. Di sela jari tengahnya terselip sebatang rokok yang asapnya masih mengepul. Bahunya berguncang. Terdengar isak tangis di antara bunyi mesin kapal nelayan yang ia tumpangi. Sesekali dia mengangkat kepalanya untuk menyesap batang rokok hingga bara di ujung tembakau itu merah menyala. Setelah itu dari mulutnya keluar bulatan asap yang dimainkan dengan sengaja sambil mengingat apa yang dialaminya beberapa bulan lalu di media sosial.

"Paling juga halu lagi. Liat aja undangannya. Dia kayak ngedesain sendiri, trus di-upload, deh," tulis salah seorang komentator di media sosial ketika wanita itu menyebar undangan pernikahan.

"Lagi? Yang kemarin juga baru cere, kan? Itu juga kalau emang bener dia nikah." 

Satu komentar yang menurutnya tidak berperasaan. Bukan satu, melainkan dua. Bukan! Dia merasa ratusan komentar negatif itu sengaja menghakiminya. Komentar itu bagaikan suara-suara yang diucapkan langsung di lubang telinganya. Menghujat dan menjustifikasi seolah dia adalah pendosa.

"Berisiiik!" lengkingnya di tengah raungan mesin kapal. Nadanya merintih panjang. Terdengar frustrasi.

Suara-suara itu memprovokasinya untuk bersikap impulsif. Tiba-tiba dia seperti tidak percaya diri. Ada rasa takut, cemas, juga rasa selalu sendirian.

"Alhamdulillah, Bunga. Selamat, ya. Aku senang dengan berita ini. Semoga kamu bahagia."

Salah satu komentar positif dia temukan berada paling bawah. Namun, bukannya tersenyum, wanita itu malah merasa terhina. Dia menganggap orang itu tengah mengejeknya.

Nyatanya, lelaki itu telah pergi sebelum menyelesaikan akadnya. Calon suaminya keburu mengetahui sepak terjangnya di media sosial sebagai penderita bipolar akut. Ada yang bilang wanita itu adalah sang psikopat karena pandai berdusta.

Dia pun beranjak mengambil pisau, meraih ponsel, dan mengutak-atik pengaturan kamera agar bisa memotret otomatis hingga lima detik, Kemudian menempelkan pisau di pergelangan nadi. Cekrek! 

Dalam hitungan detik, foto tersebut terunggah di media sosial. Berbagai komentar berdatangan. Ada yang memprovokasinya untuk bunuh diri. Ada yang menceramahinya. Ada yang malah memakinya. Bahkan ada juga yang ramai menawarkan berbagai macam dagangan di kolom komentar. Tiga puluh menit setelah itu, ribuan komentar pedas dan tak jelas telah menghiasi beranda media sosialnya.

"Bunga! Orang kek kamu jangan pegang medsos dulu, deh! Mending tenangin diri aja di pulau terpencil, di mana, kek!"

Satu kalimat yang mendorongnya untuk berbuat nekat hingga mengantarnya ke atas geladak kapal ini di antara para nelayan, mengarungi perairan menuju Pulau Rakata.

Sialan! umpatnya dalam hati.

Kalian pikir aku takut? Aku bahkan pernah mengarungi Nusantara bukan hanya di Banten sini, melainkan sampai ke ujung timur sana!

Semakin jauh dari garis pantai, ombak semakin besar. Tangannya berpegangan pada tiang. Dirapikannya rambut ikal yang tersapu embusan angin. Riak ombak menggoyang kapal hingga membuat rokoknya tanpa sengaja jatuh ke laut.

Hatinya gelisah. Di sini tidak ada sinyal. Tidak ada komentar-komentar jahat yang seolah mencabik-cabik harga dirinya. Harusnya dia bisa tenang. Namun, suara-suara yang berasal dari ribuan komentar itu seolah hampir merusak gendang telinganya.

Sesaat kemudian, dia merasa energi dalam tubuhnya bertambah dua kali lipat. Jantungnya berdegup kencang, disusul dengan rasa nyeri di kepalanya. Dia pun berteriak, lalu diam. Sepi.

Bunga mengaku telah menikah sebanyak dua belas kali. Pernikahannya paling lama hanya bertahan enam bulan. Paling sebentar itu hanya dua hari. Wanita yang berusia 35 tahun itu memiliki paras cantik dan berkulit putih. Otaknya cerdas. Bobot tubuhnya mencapai 90 kilogram. Mungkin lebih.

Meskipun bertubuh besar, wanita itu mampu memengaruhi orang lain dengan gaya bicaranya. Dia bisa bersikap sebagai wanita yang lembut dan pengertian. Namun, di lain waktu dia menjadi jahat dan penuh amarah. Wanita itu pandai mengarang cerita, tetapi tidak merasa kalau dirinya sedang berdusta. Semua yang dia ceritakan adalah benar menurut versinya karena memang dalam imajinasinya dia mengalaminya sendiri.

Itulah mengapa dia selalu berhasil menarik perhatian lelaki. Sampai beberapa waktu kemudian, wanita itu menampakkan sifat berbeda seolah ada dua kepribadian dalam dirinya yang membuat akhirnya ditinggalkan. Apalagi hasrat biologisnya sangat besar. Para lelaki itu tak sanggup memberikan kepuasan yang mengakibatkan dia kerap merasa berang.

Selama dua belas kali menikah, dia telah hidup berpindah-pindah. Wanita itu tidak berdusta ketika mengatakan kalau dia telah hidup dari pulau ke pulau. Satu daerah yang dia singgahi, satu suami berhasil dia taklukkan. Berulang kali mengumumkan pernikahan, kemudian tak lama dia juga mengabarkan perceraian. Hal itu yang membuat para pengikutnya di media sosial tak pernah memercayai apa yang diunggah Bunga. Mereka menganggapnya hanya mengarang cerita dan berhalusinasi. Siapa yang bakal percaya? Dua belas kali menikah itu hal yang sangat langka dilakukan oleh seorang wanita.

Setelah hampir dua jam perjalanan, perahu yang ia tumpangi sampai di sebuah pulau berpasir hitam tanpa dermaga. Tiba-tiba Bunga merasa bingung. Apa yang harus dia lakukan di pulau ini? Sejauh mata memandang hanya ada pohon cemara menutupi sebagian anak Gunung Krakatau yang berdiri gagah di hadapannya.

Seorang petugas menghampirinya. Menginformasikan kepadanya kalau akses pendakian Gunung Krakatau sedang ditutup. Para pengunjung yang mendatangi pulau itu hanya bisa menikmati pemandangan gunung dari jauh. Di belakang petugas itu tampak beberapa petugas berseragam membawa peralatan seperti drone dan sebuah kamera. Bunga sedikit penasaran, tetapi enggan mencari tahu. Dia hanya berimajinasi bagaimana jika drone itu menerbangkan tubuhnya dan membawanya ke pulau lain yang lebih terpencil.

Akhirnya dia duduk di sebuah batu yang memiliki permukaan kasar karena hanya ada batu itu untuk ia duduki agar bisa menikmati kokohnya Gunung Krakatau.

"Tak baik seorang wanita duduk sendirian di pulau yang terpencil ini."

Tiba-tiba suara berat mengejutkannya. Dia menatap sepasang kaki bersepatu cokelat telah berada di dekatnya. Pemilik kaki itu duduk di atas pasir, tepat di sebelah Bunga, sambil mengikat lututnya dengan kedua tangan. Matanya tengah menatap tajam ke arah Gunung Krakatau, kemudian menoleh dan tersenyum ke arah wanita itu.

"Boleh kenalan?"

Bunga terdiam. Dia tidak menanggapi sedikit pun. Lelaki itu tersenyum lagi, kemudian menyodorkan tangannya.

"Saya Farhan. Saya tinggal di Pulau Sibesi. Dari jauh saya melihat seorang wanita duduk sendirian, sepertinya butuh teman ngobrol."

Bunga terdiam. Kali ini dia tidak ingin bicara. Dia tak ingin terluka lagi. Dia juga tak ingin dianggap berhalusinasi. Dia memutuskan untuk tidak terpengaruh sama sekali.

"Saya sering ke sini untuk mendaki Gunung Krakatau," ujar lelaki itu seraya menatap ke arah Krakatau yang tengah mengeluarkan asap tipis dari puncaknya.

"Mbak lihat para petugas di sebelah sana?" Farhan menunjuk beberapa orang yang tadi menghampiri Bunga. Dari kejauhan, Bunga melihat orang-orang itu seolah tersenyum ke arahnya.

"Mungkin mereka telah bosan melihat saya di sini," ujarnya seraya terkekeh. "Sayangnya, sudah jauh ke sini, ternyata enggak bisa naik."

Bunga mengamati sebuah tas ransel yang disandang Farhan di punggungnya. Tampilan Farhan yang lengkap termasuk sepatu khusus untuk mendaki gunung meyakinkan Bunga kalau laki-laki itu memang tidak berdusta. Namun, kali ini Bunga telah memutuskan untuk tidak luluh begitu saja.

"Ingin keluar pulau, sepertinya tidak ada kapal yang pergi ke seberang. Jadi mau tidak mau, saya harus di sini menunggu kapal datang untuk mengantar."

Farhan terus mengoceh. Bunga mulai gerah. Amarahnya kembali tersulut. 

"Saya sudah dua belas kali menikah. Jadi saya tahu, Anda pria macam apa!" tegasnya.

Bunga menunggu reaksi Farhan. Namun, raut muka lelaki itu tak berubah sedikit pun. Ekspresi wajah Farhan itu tetap tenang dan teduh. Senyumnya terus terukir meskipun matanya lurus ke depan menikmati pemandangan gunung.

"Baiklah! Sepertinya Mbak ini tidak ingin diganggu. Sebaiknya saya pamit saja."

Farhan bangkit seraya membersihkan butiran pasir yang menempel di celananya. Tiba-tiba Bunga merasa takut sendirian. Secara refleks dia memegang tangan Farhan untuk mencegahnya pergi.

"Ma-maaf! Eh, maksud saya ... saya tidak terganggu sama sekali. Maaf jika tadi saya sangat kasar." Bunga melepas tangan lelaki itu dengan gugup.

Entah siapa yang memulai, akhirnya mereka pun mengobrol panjang lebar. Saling bercerita tentang diri masing-masing. Dari Farhan, Bunga tahu kalau lelaki itu memiliki penyakit yang sama dengannya. Farhan merasakan hal yang sama dengan Bunga. Rasa minder, sendirian, terpuruk, dan merasa dijauhi.

"Jika berada di suatu perkumpulan, saya merasa mereka membicarakan keburukan tentang saya, padahal sebenarnya tidak." Farhan mengutarakan apa yang dialaminya sama dengan apa yang dialami Bunga.

"Saya mencoba terapi diri dengan mendaki beberapa gunung di Indonesia. Tapi yang paling sering adalah gunung ini karena dekat dengan tempat tinggal saya di Pulau Sibesi."

Bunga mendengarkan dengan saksama. Wanita itu juga bercerita tentang pribadinya. Selama mengenal pria, baru kali ini Bunga berani bercerita apa adanya. Tidak berdusta atau mengarang cerita. Dari perkenalan singkat itu, Bunga merasa Farhan akan cocok menjadi pendamping hidupnya. Memiliki penyakit yang sama membuat mereka bisa saling mendukung satu sama lain. Apalagi Farhan sangat pandai bertahan dari rengekan mentalnya yang terganggu.

Akhirnya Bunga menemukan sosok yang mengerti kondisi hatinya. Bunga juga memberanikan diri mengundang Farhan datang ke rumah orang tuanya di Kotabumi. Tak disangka, Farhan bersedia. Bunga merasa sangat bahagia. Kali ini dia tidak berhalusinasi. Jodoh itu benar-benar datang untuknya.

"Sebentar lagi siang. Sebaiknya Bunga pulang ke rumah. Mumpung ada kapal yang lagi bersandar. Bunga bisa ikut menumpang agar bisa kembali ke seberang."

Wanita itu merasa tersanjung dengan cara Farhan memanggil namanya.

"Mas Farhan mengusir saya?"

"Oh, bukan. Hanya ingin mengingatkan kalau orang jahat itu ada di mana-mana."

Bunga tertegun. Kapal nelayan yang bersedia ditumpangi warga, tidak banyak. Jika tidak ada lagi kapal nelayan, Bunga harus membayar tiga juta untuk naik kapal menuju seberang. Akhirnya dia memutuskan untuk naik kapal ditemani Farhan.

Di atas geladak, angin menerpa wajahnya di antara ombak yang menabrak baling-baling kapal. Tercium lembut aroma parfum yang belum pernah dia hirup sebelumnya. Setelah itu, dalam beberapa detik Bunga tertidur lelap. Sangat lelap.

Kapal pun memutar haluan mendatangi pulau kecil tak jauh dari Rakata. Di sana, Farhan dan kawanannya membawa Bunga yang tak sadarkan diri, masuk ke sebuah rumah kosong berukuran kecil yang tertutup semak belukar.

Di sana sudah ada beberapa orang berpakaian hijau tua dan bermasker putih serta berpenutup kepala. Dua buah ranjang pasien berjajar rapi terpisah oleh nakas yang di atasnya tergeletak beberapa peralatan seperti gunting dan pisau bedah.

Dalam beberapa menit, mereka bergerak cepat mengambil organ bola mata dan limpa milik Bunga. Setelah selesai, Farhan mengembalikan Bunga ke tepian Pulau Rakata dan membaringkan tubuhnya ditutupi tumbuhan yang merambat. Membiarkan ombak menjilat jenazah Bunga dan membuat seolah-olah wanita itu mati terdampar di Pulau Rakata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun