Pernahkah kita membayangkan bagaimana dunia jika tidak ada lagi gajah yang bergemuruh di hutan, orangutan yang bergelantungan di dahan, atau harimau yang mengaum gagah dari kejauhan? Mungkin terdengar seperti kisah fiksi. Namun sayangnya, kenyataan ini bisa saja benar-benar terjadi bila kita tidak melakukan apa-apa.
Bagi sebagian dari kita yang hidup di kota, isu satwa liar terasa begitu jauh. Kita sibuk dengan macet, pekerjaan, urusan rumah tangga, atau hiruk pikuk media sosial. Sementara itu, di hutan-hutan Sumatra dan Kalimantan, ada kehidupan yang perlahan hilang dalam diam. Satwa-satwa karismatik Indonesia---gajah, orangutan, dan harimau---kini semakin terdesak.
Padahal, tanpa mereka, hutan kita akan kehilangan jiwanya. Dan bila hutan kehilangan jiwa, manusia juga akan kehilangan masa depan.
Orangutan: "Manusia Hutan" yang Terancam
Orangutan kerap dijuluki "manusia hutan" karena kecerdasannya yang mirip dengan kita. Mereka bisa menggunakan ranting sebagai alat, mengajarkan keterampilan pada anak-anaknya, dan bahkan punya ekspresi wajah yang mirip manusia.
Namun, di balik kepintaran itu, rumah mereka semakin menyempit. Hutan yang dulunya luas kini berubah menjadi perkebunan atau area industri. Banyak orangutan akhirnya tersesat masuk ke ladang dan kampung. Konflik pun terjadi---ada yang ditangkap, ada yang diburu, bahkan ada yang dijadikan peliharaan.
Padahal, orangutan punya peran penting menjaga hutan. Mereka menyebarkan biji dari buah-buahan yang dimakan, sehingga pohon-pohon baru bisa tumbuh. Tanpa orangutan, regenerasi hutan akan terganggu.
Gajah: Sang Penjaga Jalur Hutan
Gajah Sumatra dikenal sebagai "arsitek hutan". Dengan tubuhnya yang besar, gajah membuka jalur alami yang memudahkan hewan lain lewat. Mereka juga membantu menyebarkan biji tanaman dalam jumlah besar.
Sayangnya, gajah kini sering dianggap "hama" oleh masyarakat yang lahannya dimasuki. Ketika hutan berubah jadi perkebunan, jalur jelajah gajah terpotong. Mereka mencari makan ke kebun atau sawah, dan konflik dengan manusia pun tak terelakkan.
Kabar duka tentang gajah yang diracun atau terjerat perangkap bukan lagi hal asing di media. Padahal, gajah bukan musuh manusia. Mereka hanya berusaha bertahan hidup di tanah yang sebenarnya adalah rumah mereka sejak ribuan tahun lalu.
Harimau: Simbol Keberanian yang Kian Langka
Harimau Sumatra, satu-satunya subspesies harimau yang tersisa di Indonesia, kini jumlahnya diperkirakan hanya ratusan ekor di alam liar.
Ancaman terbesar datang dari dua sisi: hilangnya habitat dan perburuan. Kulit, taring, hingga bagian tubuh harimau masih dianggap barang berharga di pasar gelap. Ironisnya, manusia memburu simbol keberanian itu, sementara keberanian kita sendiri untuk menghentikan perburuan justru sering kalah oleh keuntungan sesaat.
Jika harimau punah, bukan hanya kita kehilangan salah satu satwa paling ikonik dunia. Hilangnya predator puncak seperti harimau juga akan membuat ekosistem hutan tidak seimbang.
Mengapa Kita Harus Peduli?
Pertanyaan yang sering muncul: "Kenapa kita harus repot-repot memikirkan nasib satwa? Bukankah kita sudah cukup pusing dengan masalah manusia?"
Jawabannya sederhana: karena nasib satwa dan manusia saling terhubung.
Hutan yang dijaga oleh satwa-satwa besar adalah sumber air bersih, udara segar, dan iklim yang stabil. Ketika orangutan, gajah, dan harimau hilang, hutan akan lebih cepat rusak. Bila hutan rusak, banjir dan longsor makin sering terjadi, udara makin panas, dan bencana iklim makin nyata.
Dengan kata lain, melindungi satwa liar berarti melindungi masa depan kita sendiri.
Suara yang Tak Bisa Bicara
Ada satu kenyataan pahit: satwa tidak bisa bersuara untuk membela diri. Orangutan tidak bisa menulis petisi. Gajah tidak bisa menyampaikan protes di depan kantor pemerintah. Harimau tidak bisa mengunggah status meminta tolong.
Mereka hanya bisa bertahan---atau mati---dalam diam.
Kitalah yang seharusnya menjadi suara mereka. Voice of the Voiceless. Kita yang bisa menuliskan kisah mereka, menceritakan penderitaan mereka, dan mendesak perubahan.
Menjadi suara satwa tidak selalu berarti harus terjun langsung ke hutan. Hal-hal kecil pun bisa berarti besar:
Tidak membeli satwa liar atau produk turunannya.
Mendukung produk ramah lingkungan.
Mengurangi penggunaan barang yang merusak hutan.
Menyebarkan informasi tentang pentingnya satwa liar kepada teman dan keluarga.
Kisah Inspiratif: Harmoni Itu Mungkin
Di beberapa desa di Aceh, masyarakat mulai belajar hidup berdampingan dengan gajah. Mereka membangun pagar alami dari tanaman yang tidak disukai gajah, sehingga kebun tetap aman tanpa harus melukai satwa.
Di Kalimantan, pusat rehabilitasi orangutan menjadi rumah sementara bagi bayi-bayi orangutan yatim yang kehilangan induknya. Dengan kasih sayang, mereka diajari cara memanjat, mencari makan, dan bertahan hidup, hingga suatu hari bisa kembali ke hutan.
Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa harapan itu ada. Harmoni antara manusia dan satwa bukan sekadar mimpi.
Harapan untuk Satwa Liar
Banyak orang baik telah bekerja untuk melindungi satwa. Namun, mereka tidak bisa berjuang sendirian. Dukungan masyarakat luas sangat penting.
Setiap suara berarti. Setiap tindakan kecil bernilai. Jika kita semua mengambil bagian, sekecil apa pun, suara itu akan menggema menjadi harapan besar bagi satwa liar.
Saatnya Bicara
Hari Satwa Sedunia 2025 adalah momentum bagi kita untuk kembali mengingat bahwa bumi bukan hanya milik manusia. Kita berbagi ruang dengan makhluk lain.
Bayangkan jika anak cucu kita hanya bisa mengenal orangutan dari foto, melihat gajah hanya di film dokumenter, atau menganggap harimau sebagai legenda. Apakah kita tega mewariskan dunia yang sepi, hutan tanpa jiwa, dan satwa yang hanya tinggal cerita?
Sekaranglah waktunya kita bicara.
Bukan hanya untuk mereka, tapi juga untuk kita sendiri.
Karena ketika kita menyelamatkan satwa, sebenarnya kita sedang menyelamatkan kehidupan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI