Namun di suatu hari ada yang berbeda di sanggar, aku melihat sosok yang tak begitu asing oleh kornea mataku. Ya, aku melihat gadisku. Aku melihatmu Dinda. Â Rupanya kau guru lukis baru di sanggar seni kakek. Dan kau pun menghampiriku. Kau menyapaku dengan senyum bibir permen strobery milikmu, menatapku dengan bola mata kelereng emasmu. Aku Seperti terhipnotis akan sosokmu. Serasa jiwaku ini melayang ringan di atas rerumput hijau padang sabana. Terhempas diatas altar mawar merah yang mewangi semerbak membelai indra pencimanku. Duhai Dinda aku menyukaimu.
***
Dinda tanpa terasa sudah setengah tahun kita bersama. Selama setengah tahun kau ajari aku banyak hal tentang melukis. Dalam hal melukis kau memang lebih berpengalaman daripada aku. Setiap hari kita duduk berdampingan, melukis bersama. Pernah suatu kali aku melukis dirimu. Aku melukismu mengenakan gaun biru muda klasik yang anggun. Kau  pun bertanya padaku tentang dirimu dalam lukisanku itu.
"Juna, mengapa harus aku yang kamu lukis?"
Dinda aku malu untuk menjawab pertanyaanmu itu. Lebih baik aku diam. Aku tak ingin kau tahu perasaannku. Dinda gadisku betapa bermekaran hatiku saat kau terima dengan senang hati lukisanku yang berinspirasikan dirimu. Senyummu tak hentinya terkembang memandangi setiap lekuk paras ayumu dalam lukisan itu. Sejak saat itu aku semakin sering melukis dirimu, menulis sajak untuk dirimu. Aku rutin memberimu lukisan dan sajak-sajak. Anehnya kau tak pernah bosan untuk menerima hadiah-hadiah kecil dariku itu, meski aku sering merasa hadiah-hadiah itu tak ada artinya. Tapi aku yakin kau selalu senang menerima hadiahku. Aku tahu itu dari tatap mata jernihmu. Dalam luksisan itu pula kutulis sajak di sebelah bawah yang melambangkan perasaanku padamu.
Kini sepasang tanganku terlanjur bermetamorfosis
Menjadi sepasang sayap merpati
Dengan kepakan sayapku, ku kan terbang dan hinggap ke sarangmu
Disini, di sarang kerinduanmu
Aku harap kita dapat menata senjaÂ
Meratapi tiap detik bola api itu termakan mulut bumi yang uzur