"Tunggu saja," balasnya.
Sejak berkas kami diterima, sedikitnya 3 kali saya melakukan hal serupa, dengan rentang waktu kira-kira  2 dan 3 bulan. Jawabnya  selalu sama. "Apa Ibu sudah dapat panggilan via WA atau email? Kalaum belum tunggu saja."
Tiga belas bulan penantian dibalas sakit hati
Pertengahan Januari 2022 saya tanyakan lagi. Astaghafirullah. Seharusnya bahan tersebut sudah dilanjutkan prosesnya bulan April. Tetapi mengendap di almari mereka.
Emak .... Tubuh saya menggigil menahan kecewa. Ingin rasanya memaki. Yang membuat saya sedih, para oknum yang seharusnya bertanggung jawab atas kelalaian itu bukannya minta maaf. Mereka malah mengkambinghitamkan saya. Katanya saya tak mengangkat telepon. Tak merespon WA, Â email salah tulis, bla bla ...
Saya minta jejak digitalnya. Tanggal berapa mereka terakhir menghubungi saya. Mereka tetap bertahan. Bertiga mereka menyerang saya. Satu cowok 2 cewek. Â
Saya tarik nafas dalam-dalam. Pikiran fositif hadir sebagai dewa penyelamat. Ini pasti tersebab kekhilafan. Tak ada unsur kesengajaan. Meskipun tiada pengakuan dari oknum anak muda cantik dan ganteng tersebut.
Sudah Kecewa diremehkan pula
Sebelum meninggalkan TKP, saya minta saran mereka, bagaimana cara berurusan di  Pemda supaya tidak dibebankan pajak terlalu tinggi.  Oknum cowok tadi menjawab ketus,  "Minta surat keterangan miskin!" Nadanya mengejek.
Subhanallah ...! Saya telah mencoba berbaik-baik dia masih arogan. Apa tak ada kata yang enak didengar. Hati saya yang tadinya mau berdamai, jadi marah lagi. Syukur tak sampai meladak.
Mungkin dia menganggap, lansia seperti saya tak pantas mendapat pelayanan seperti pribadi lainnya. Dia tidak sadar, kalau dirinya digaji dengan uang rakyat. Termasuk uang  saya.