Dilanda insomniaÂ
Semalaman saya susah tidur. Mau menviralkan mereka di medsos, curhatan di kompasiana, dan minta disebarkan pada harian Jambi Ekspres cetak dan elektornik, (jambiekspres.co.id), yang bernaung di bawah Jawa Pos Grup. Â Kebetulan anak sulung saya wartawan senior di sana, bukan wartawan liar. Â Bukankah trendnya begitu. Viral dulu, baru pihak terkait menanggapi.
Suami saya melarang. Alasannya  bahan telah lengkap. Biaya pengukuran sudah dibayar.  Kalau diperkarakan, urusannya terputus. Kapan melanjutkan tentu mulai dari nol lagi.
Kasian juga mereka (oknum karyawan) masih muda. Seangkatan cucu kita. Jangan gara-gara kita, masa depan kariernya terancam.
Ya, sudah. Sekali lagi saya paksakan diri menerima kenyataan. Walau hati ini tak rela.Â
Giliran saya cari gara-gara
Di lain hari saya harus ke BPN lagi. Masih berhadapan dengan oknum yang sama. Sikapnya masih  kurang ramah.
Giliran saya cari gara-gara. Sedang sibuknya  dia beraktivitas, klik ...! Saya potret dia. Dia protes.  "Saya mau foto ibuk. Boleh dak?  Ibuk tuh tak boleh motret sembarangan."
Saya buka masker. "Silakan. Kalau saya yang salah, kamu viralkan saya. Jika kamu salah, saya viralkan kamu," tantang saya. "Kalian tuh sudah jelas-jelas  salah. Bukannya minta maaf ...." Suara saya tercekik tak sanggup bicara. Mungkin karena terlalu emosi.Â
Beberapa hari kemudian saya ke sana lagi. Ada blangko yang harus diambil. Celakanya masih berhadapan dengan oknum yang kemarin. Â Begitu saya melewati pintu masuk, dia langsung memanggil saya. "Ke sini, Bu!' Â katanya. "Biar urusan Ibu cepat selesai, ini blangko sudah saya isi. Tinggal minta tanda tangan Pak Kades," tambahnya.
Duh ..., Alhamdulillah. Mimpi apa doi semalam. Ternyata ini anak pandai juga bersikap manis terhadap orang tua. Hati saya berbisik, "Seratus untuk kamu." Ha ha ....