“Tahun pertama kembali ke rumah orang tua, saya merasa asing. Dipegang itu takut salah, dikerjakan ini jangan-jangan Emak marah.”
Tanpa sengaja ibu satu anak berinisial MS itu bernostalgia. Percakapan kilat bersekat pagar tersebut berlangsung 2 hari lalu, usai kami menyapu halaman masing-masing.
MS berpisah dengan ibu-bapaknya sejak kelas 1 SMP sampai lulus sarjana. Ayah-bunda, dan dua adik cowoknya berdomisili di desa S. Dia tinggal bersama kakek sepupunya (saudara laki-laki kekeknya dari pihak ayah) di desa tetangga, T. Jaraknya kurang lebih 2 km.
Setahu saya, emak-bapak MS ini berkecukupan secara ekonomi. Tetapi sang kakek sangat mengharapkan agar dia dan istrinya diberi kesempatan mengasuh MS. Sebab mereka tidak punya keturunan.
Lain MS, beda pula kisah Lida (bukan nama sebenarnya). Dia keponakan perempuan ayah saya. Sejak usia 6 tahun sampai lulus SMP tahun 1979, anak nomor 2 dari 8 bersaudara itu diasuh oleh neneknya (pihak ayah). Dengan alasan, sekalian menemani si nenek yang sudah sepuh dan hanya sebatang kara.
Mereka tinggal di provinsi berbeda. Oleh sebab itu, sejak berjauhan ketemunya cuman satu kali saat pulang itu saja. Maklum zaman itu komunikasi dan transportasi belum lancar seperti sekarang.
Setelah lulus SMA, Lida sering curhat ke saya. Dia menuding ibu-bapaknya berlaku tidak adil terhadap dirinya. “Mungkin Emak dan bapak menganggap saya bukan anak mereka,” katanya. Hampir saja air matanya menetes.
Pernah pula dia buka-bukaan masalah pacarnya, yang katanya dirampas adik kandungnya. “Emak dan Bapak tidak bertindak apa-apa. Malahan mendukung sampai mereka menikah,” ungkapnya.
Menyimak kedua ilustrasi di atas dapat ditarik 2 benang merah.
1. Anak yang diasuh oleh selain ibu-bapaknya sendiri, mengalami dampak negatif bagi perkembangan psikisnya.
Hal ini disebabkan oleh ikatan batin antara orang tua kandung dan sang anak terlanjur renggang. Untuk memperbaikinya perlu waktu dan proses, serta dukungan semua pihak.
Berkenaan dengan MS, dia mengaku butuh waktu satu tahun lebih untuk meyakini dirinya bahwa saat itu dia tinggal bersama orang tua kandungnya. Bukan dengan orang lain.
“Padahal seluruh anggota keluarga biasa-biasa saja. Satu kali pun mereka tak pernah berkata kasar pada saya. Barangkali itulah yang membuat saya bisa move on,” katanya.
1. Hubungan emosional yang terlanjur terbelah, susah untuk ditautkan kembali.
Mari kita menyigi kasus Lida. Seperempat abad saya dan dia berpisah, kami bertemu kembali di kota Jambi. Kini Lida sudah punya 3 anak dan 2 cucu.
Tema keluhannya tetap sama. “ Dari dahulu tabiat emak tak pernah berubah. Makanan basi dia kasih ke saya. Yang masih bagus, sory dulu. Bla ..., bla ....” katanya.
Sekali lagi saya berspekulasi. Problem yang membelit Lida dan ibunya adalah dampak psikologis dari hubungan kedua pihak yang terlanjur renggang. Susah ditautkan kembali.
Pada hal mereka berpisah untuk ke dua kalinya kurang lebih 20 tahun. Emak, bapak, dan saudaranya yang lain tetap di Jambi, Lida ikut suaminya ke Jawa. Delapan tahun terakhir dia kembali lagi ke Jambi.
Parahnya, dampak buruk tersebut tidak hanya mencemari psikis Lida selaku anak. Tetapi juga bersarang pada jiwa ibunya.
Di antara mereka tiada lagi menikmati kasih sayang sebagai anak terhadap ibu kandung dan sebaliknya. Buntutnya, tabungan masalah tak pernah terpecahkan.
Beda dengan MS. Kedua orang tuanya menyikapi persolannya dengan bijak. Saya persis tahu sikap emak dan ayahnya MS. Lembut dan santun.
Endingnya ibarat luka, tanpa diobat pun bisa juga sembuh. Kini MS telah mengajar di salah satu SMA di Kabupaten Kerinci.
Berkaca dari kasus MS dan Lida, selaku orang tua perlu berpikir seribu kali untuk menitipkan hak asuh anak kepada orang lain. Meskipun pada keluarga sendiri.
Demikian ulasan ini saya tulis berdasarkan pengamatan dan opini pribadi. Semoga dapat dijadikan pembelajaran bagi para orang tua. ****