“Padahal seluruh anggota keluarga biasa-biasa saja. Satu kali pun mereka tak pernah berkata kasar pada saya. Barangkali itulah yang membuat saya bisa move on,” katanya.
1. Hubungan emosional yang terlanjur terbelah, susah untuk ditautkan kembali.
Mari kita menyigi kasus Lida. Seperempat abad saya dan dia berpisah, kami bertemu kembali di kota Jambi. Kini Lida sudah punya 3 anak dan 2 cucu.
Tema keluhannya tetap sama. “ Dari dahulu tabiat emak tak pernah berubah. Makanan basi dia kasih ke saya. Yang masih bagus, sory dulu. Bla ..., bla ....” katanya.
Sekali lagi saya berspekulasi. Problem yang membelit Lida dan ibunya adalah dampak psikologis dari hubungan kedua pihak yang terlanjur renggang. Susah ditautkan kembali.
Pada hal mereka berpisah untuk ke dua kalinya kurang lebih 20 tahun. Emak, bapak, dan saudaranya yang lain tetap di Jambi, Lida ikut suaminya ke Jawa. Delapan tahun terakhir dia kembali lagi ke Jambi.
Parahnya, dampak buruk tersebut tidak hanya mencemari psikis Lida selaku anak. Tetapi juga bersarang pada jiwa ibunya.
Di antara mereka tiada lagi menikmati kasih sayang sebagai anak terhadap ibu kandung dan sebaliknya. Buntutnya, tabungan masalah tak pernah terpecahkan.
Beda dengan MS. Kedua orang tuanya menyikapi persolannya dengan bijak. Saya persis tahu sikap emak dan ayahnya MS. Lembut dan santun.
Endingnya ibarat luka, tanpa diobat pun bisa juga sembuh. Kini MS telah mengajar di salah satu SMA di Kabupaten Kerinci.
Berkaca dari kasus MS dan Lida, selaku orang tua perlu berpikir seribu kali untuk menitipkan hak asuh anak kepada orang lain. Meskipun pada keluarga sendiri.
Demikian ulasan ini saya tulis berdasarkan pengamatan dan opini pribadi. Semoga dapat dijadikan pembelajaran bagi para orang tua. ****