Segala sesuatu diawali dengan niat. Apa pun perbuatan kita tentu ada niat atau motivasi yang melandasi. Termasuk ketika kita menulis. Inilah perangkat lunak (software) dalam diri kita yang harus ditata terlebih dahulu sebelum berkutat dengan segala detil teknis penulisan seperti ide, plot atau akhir cerita (ending).
Untuk apakah kita menulis? Uang? Ideologi? Terapi penyembuhan diri (trauma healing)?
Dalam konteks trauma healing, kita dapat merujuk pada Paulo Coelho yang dalam novel The Al Chemist menyarankan agar kita menuliskan segala kesedihan atau perasaan yang mengganggu dalam selembar kertas dan melarungkannya ke sungai. Niscaya kesedihan atau kekuatiran akan sirna.
John Gardner dalam The Art of Fiction mengatakan,"Kebanyakan orang yang saya ketahui ingin menjadi pengarang, dengan mengetahui apa artinya hal itu, akhirnya menjadi pengarang. Hal yang perlu dimiliki oleh para pengarang pemula adalah memahami dengan jelas apa yang sebenarnya mereka inginkan dan apa yang harus mereka lakukan untuk bisa menjadi orang yang mereka inginkan itu."
Habiburrahman El-Shirazy, contohnya. Dengan sebuah niatan memperbaiki akhlak bangsa melalui tulisan, ia tergugah untuk menghasilkan karya sastra yang menghibur dan mencerahkan. Alhasil, meluncurlah Ayat-Ayat Cinta, novel yang laris secara fenomenal dan diangkat ke layar lebar di awal 2000-an, dan Di Atas Sajadah Cinta, yang kemudian diangkat menjadi sebuah sinetron rating atas di sebuah TV swasta. Termasuk beberapa novel bergenre serupa.
Menulislah, pesan Helvy Tiana Rosa, sastrawan angkatan 2000 versi buku sastrawan Korie Layun Rampan dan peraih penghargaan Adikarya IKAPI, karena selain baik bagi kesehatan mental dan menghasilkan uang, menulis juga memungkinkan kita saling memperkaya ide, berbagi rasa dan pengalaman serta mengeksplorasi langit imajinasi tanpa batas.
Lalu, salahkah jika kita ingin menulis semata-mata karena uang? Bukankah William Shakespeare juga mulai menulis karena keterdesakan ekonomi? Sah-sah saja tentunya.
Namun sudah siapkah kita dengan segudang kesabaran dan kekuatan hati atas segala penolakan terhadap karya kita? Umumnya seiring ekspektasi berlebih, karena memang terkait dengan kebutuhan perut, penolakan pun kadang berlebih sesuai kadar ekspektasi tersebut.
Kawan-kawan penulis, yang banyak saya temui, yang bermotivasi menulis semata-mata karena materi pun umumnya banyak yang mutung, tidak lagi menulis setelah berbagai penolakan. Jika tidak, mereka meracau merutuki nasib atau bahkan menyalahkan orang lain terutama penerbit dan redaksi media. Mereka sibuk menuding kesana-kemari kecuali kepada dirinya sendiri. Mereka lupa bahwa, sebagaimana wejangan penyair Eka Budianta, menulis adalah memberi.
Dalam logika bisnis yang terkadang turut mengikat aktivitas menulis, menjual, termasuk menjual tulisan, adalah melayani dan memberi. Keikhlasan melayani atau memberi terhadap kebutuhan konsumen justru akan menimbulkan market demand (permintaan pasar) dalam bentuk repeat order (order yang berulang). Kelimpahan materi adalah efek sampingnya. Inilah sisi lain yang kerap diabaikan para penulis yang bermotivasi menulis semata-mata karena materi.
Jadi, menulislah tanpa beban, ujar Kuntowijoyo, salah satu sastrawan favorit saya, dan hanya ada tiga cara untuk menjadi penulis, yaitu dengan menulis, menulis dan menulis. Menulislah seikhlas meludah atau buang hajat.