Seorang Habiburrahman El-Shirazy juga tak menyangka jika Ayat-Ayat Cinta, yang royaltinya untuk infak pesantren, akan laris manis hingga dicetak ulang berkali-kali dalam waktu singkat.
JK Rowling yang awalnya hanya seorang guru miskin di Inggris pun tak pernah bermimpi jika Harry Potter akan mendunia padahal semula ia hanya menuliskan khayalan masa kecilnya. Dalam bahasa (alm) KH Abdullah Syafi'ie, seorang ulama kharismatik Betawi era 70-an,"Nanem padi rumput ikut; nanem rumput padi luput." Â Tujuan yang lebih dari "sekadar" materi akan menuntun kita pada tujuan sampingan seperti materi dan popularitas.
Kutipan perkataan John Gardner di atas pun sebenarnya tak terhenti di situ saja. Ada kalimat pamungkas yang menjadi kuncinya, yakni, "Walaupun demikian, dalam sekolah bisnis, optimismelah yang selalu berjaya."
Ya, optimisme, selain motivasi, yang juga membedakan ketangguhan seseorang, termasuk seorang penulis. Bukankah gagal itu biasa dan bangkit dari kegagalan itu baru luar biasa?
Â
Langkah 2: Beternak Ide
"Uang hanyalah sebuah ide." (Robert T. Kiyosaki)
Jika uang hanyalah sebuah ide maka memperbanyak ide sebanyak-banyaknya sama saja dengan mengembangbiakkan uang yang akan didapat.
Dalam konteks industri kepenulisan, yang aroma bisnisnya tidak berbeda jauh dari industri real estate yang ditekuni Kiyosaki yang juga penulis buku Rich Dad Poor Dad, ide harus ditangkap bahkan harus diternakkan. Ibarat hewan ternak, ia harus dirawat, dikembangbiakkan dan tak ayal dijual.
Lihat saja fenomena novel Ayat-Ayat Cinta-nya Habiburrahman El-Shirazy atau Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang menuai royalti miliaran rupiah dan menjejak dunia layar lebar. Inilah contoh nyata betapa ide bagi seorang penulis tak ubahnya hewan ternak yang merupakan aset tak ternilai.
Jika ide adalah hewan liar maka ia harus ditangkap, dijinakkan, didomestikasi. Seperti halnya orang-orang dahulunya mendomestikasi kuda atau unta untuk menjadi tunggangan yang bermanfaat untuk keperluan manusia. Sarana penangkapnya bisa dengan banyak cara.