Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Konsultan Partikelir

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Manuver Yahud Menteri Mahfud

18 September 2020   20:40 Diperbarui: 18 September 2020   20:58 805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosok menteri di kabinet Presiden Jokowi yang paling sibuk dalam sepekan terakhir salah satunya adalah Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD.

Pada Sabtu, 12 September 2020, sebagaimana dilansir Tribunnews.com, Mahfud MD tanpa tedeng aling-aling membongkar maraknya praktik percukongan pada pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung. Menurutnya, hanya delapan persen kandidat kepala daerah yang bermodal biaya sendiri untuk maju dalam kontestasi politik tersebut.

"Belum lagi permainan percukongan, di mana calon-calon itu 92 persen dibiayai oleh cukong," ujar Mahfud.

Praktik kotor seperti itu, lanjut Mahfud, sudah lazim dan berdampak ketika sang kandidat terpilih dan menjabat sebagai kepala daerah. Kepala daerah yang dimodali cukong atau pemodal akan merasa berkewajiban untuk mengembalikan biaya politik tersebut dan akan melahirkan korupsi kebijakan yang lebih berbahaya daripada korupsi uang karena dampaknya tidak terhitung.

Sementara, keesokan harinya, selepas insiden penusukan terhadap Syekh Ali Jaber di Lampung pada Ahad sore, 13 September 2020, Mahfud langsung dengan tegas mengecam si pelaku sebagai "musuh kedamaian" (Kompas.com, 14 September 2020).

Putera Madura ini bahkan menunjukkan ketegasannya sebagai Menkopolhukam dengan menginstruksikan seluruh lembaga keamanan dan intelijen negara untuk menyelidiki kasus tersebut secara transparan dan memberikan perlindungan kepada para pendakwah (da'i) dan ulama tanpa melihat latar belakang pandangan politiknya.

"Saya sudah menginstruksikan kepada seluruh aparat keamanan, aparat intelijen, bahkan saya sudah minta BNPT, Densus (88), bahkan BAIS, BIN, Kabaintelkam," ujar Mahfud melalui video yang diunggah di akun Instagram pribadinya. "Itu harus dilindungi kalau sedang berdakwah, itu yang terpenting," tambah Mahfud yang notabene alumnus pesantren dan kader ormas Nahdlatul Ulama (NU).

Patut dicatat bahwa pernyataan tegas dan afirmatif itu bukan dikeluarkan oleh Presiden Jokowi. Namun, Mahfud juga menegaskan bahwa Presiden Jokowi mendukung sepenuhnya apa yang dilakukannya tersebut.

Terlepas dari berbagai kritik yang muncul, termasuk sindiran dari Rocky Gerung bahwa Mahfud justru berada di pusat peredaran uang cukong sehingga semestinya mundur dari jabatan menteri, patutlah kita tetap angkat jempol atau angkat topi bagi mantan politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang pernah menjadi ketua Mahkamah Konstitusi periode pertama tersebut.

Manuver Mahfud MD, mantan Menteri Pertahanan dalam kabinet Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dapatlah dikatakan yahud, terutama dibandingkan dengan apa yang dilakukan sebagian koleganya di kabinet Presiden Jokowi saat ini.

Terutama dengan kesigapannya merespons aspirasi publik yang menginginkan adanya ketegasan dan kejelasan proses hukum terhadap Alpin Adrian, si pelaku penusukan Syekh Ali Jaber, yang belum-belum sudah diklaim "gila" atau ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa) oleh sebagian pihak (orang tua pelaku dan sebagian pejabat kepolisian setempat).

Itu jelas sebuah klaim prematur yang mengingatkan trauma publik atas deretan kasus penyerangan para ulama sebelumnya, yang rata-rata dilakukan orang-orang yang diklaim sebagai ODGJ, sehingga tidak berlanjut ke meja hijau atau tidak diteruskan proses penyelidikannya oleh polisi.

Pernyataan Mahfud sedikit banyak meredam praduga publik (yang kian tersulut dengan fakta bahwa si pelaku sebelum beraksi tampak berlaku normal selayaknya orang waras dengan rajin bermedsos ria) terhadap pemerintahan Jokowi yang harus diakui menghadapi keterbelahan atau polarisasi masyarakat semenjak pemilihan presiden (pilpres) yang sengit pada 2014 dan 2019.

Dalam konteks ini, Mahfud boleh dibilang relatif berhasil menjalankan peran dengan bijak.

Seperti menarik rambut dalam tepung; rambut jangan putus, tepung jangan bergoyang, demikian kata pepatah. Aspirasi publik akan keadilan bagi umat Islam, yang direpresentasikan melalui figur Syekh Ali Jaber, sang pendakwah yang dikenal lembut dan moderat, terpenuhi namun citra baik pemerintahan Jokowi, sebagaimana yang selalu diupayakan oleh Jokowi secara konsisten, juga tetap terjaga.

Akan tetapi sebagian kalangan menganggap apa yang dilakukan Mahfud suatu hal normatif dan memang sudah seharusnya sebagai bagian dari tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) sebagai menteri koordinator di bidang politik, hukum dan keamanan.

Beda halnya jika seorang menteri yang dimandatkan mengurus bidang kemaritiman dan investasi ikut-ikutan berkomentar atau cawe-cawe soal vaksin corona atau perihal jabatan politik seorang kepala daerah. Itu jelas off-side, jika di lapangan hijau. Kecuali jika wasit membiarkan atau bahkan menginstruksikan. Tak bisalah kita berkata-kata lagi. Sistem yang ngawur binti amburadul seperti itu memang tak layak dikomentari. Dirombak, jika tak bisa diperbaiki, atau dijauhi, sebagai langkah akhir.

Namun, sebagaimana menonjolnya baju putih di antara tumpukan baju hitam, demikianlah posisi Mahfud. Dan secara jujur memang harus dikatakan demikian.

Di tengah pelbagai pernyataan atau tindakan kontroversial rekan-rekannya di kabinet Jokowi (seperti tudingan "hafiz good looking radikal" dari Menag atau "kalung anti-corona" dari Mentan), sekadar menyebut beberapa, maka pernyataan atau instruksi Mahfud tersebut laksana oase di tengah gurun yang panas. Menyejukkan. Bikin adem.

Baru begitu saja kok sudah puas? Barangkali ada nyinyiran demikian.

Bro, jika kita tak bisa dapat 100 persen, setidaknya kita tidak kehilangan 100 persen, barangkali demikian argumen simpelnya. Atau dalam kaidah fikih, yang sering dikutip kalangan ulama NU, yakni dar'ul mafasid muqoddamun 'ala jalbil masholih (mencegah kemudaratan atau keburukan lebih diutamakan ketimbang melakukan upaya perbaikan).

Di tengah situasi kondisi yang penuh ketidakpastian saat ini, kita memang harus realistis dalam hal apa pun. Setidaknya, bukankah bangsa ini jadi lebih adem dengan pernyataan Prof. Mahfud yang tegas dan menyejukkan tersebut?

Terlebih lagi dengan aksi silaturahmi Mahfud menjenguk Syekh Ali Jaber di rumah sakit sehari setelah penusukan dan keduanya sama-sama mengeluarkan pernyataan yang menenangkan suasana dan publik negeri ini.

Setidaknya, setelah manuver Mahfud tersebut yang meresonansikan aspirasi terbesar mayoritas publik, Presiden Jokowi pun terdorong mengeluarkan pernyataan untuk berkomitmen mengusut deretan kasus penyerangan dan penganiayaan para pendakwah dan ulama yang kerap terjadi sebelumnya.

Kendati belumlah berbuah aksi nyata, minimal ada ucapan komitmen yang merupakan janji kesungguhan. Bukankah jika hewan yang dipegang adalah ekornya maka manusia yang dipegang adalah ucapannya? Persoalan ditepati atau tidak tentulah ranahnya berbeda.

Setidaknya hal tersebut menenangkan publik yang sudah lelah didera pandemi corona dan kemerosotan ekonomi yang kian terasa setahun terakhir ini.

Sebab bagaimana pula publik negeri ini tidak bergejolak, yang turut berdampak pada stabilitas ekonomi dan keamanan, jika terus menerus dibombardir pelor-pelor pernyataan Menag Jenderal (Purn.) Fachrul Razi yang "kurang mengenakkan" mulai dari yang menyoal cadar, celana cingkrang, hafiz good looking hingga wacana sertifikasi ulama dalam kacamata kudanya tentang radikalisme?

Ditambah lagi dengan kelakuan serupa dari beberapa menteri lainnya, seperti Menkes Terawan, misalnya, mulai dari meremehkan virus corona hingga menyepelekan jumlah tenaga medis yang gugur dalam perjuangan melawan COVID 19.

Daripada terus menerus berharap agar Presiden Jokowi punya waktu dan nyali untuk melakukan perombakan (reshuffle) kabinet yang dijanjikannya yang masih "janji tinggal janji", bukankah lebih baik kita mendukung figur menteri yang punya potensi?

Dulu di jajaran kabinet kita punya Mendiknas Anies Baswedan dan Menteri KKP Susi Pujiastuti yang berpotensi dan dianggap berkinerja baik, namun, keduanya justru terpental keluar arena. Entah dengan isu "matahari kembar" (Anies Baswedan) maupun karena isu Reklamasi Jakarta (silakan tengok riwayat perdebatan Susi Pujiastuti dengan Gubernur Ahok dan Menteri Luhut Binsar Panjaitan).

Baca Juga: Pembelajaran Daring (Sudah) Memakan Korban, Mau Tunggu Apalagi?

Menerka motif manuver Mahfud

Terlepas dari apa pun motif Mahfud, yang juga mantan ketua Tim Kampanye Pilpres Prabowo pada 2014, lontarannya tentang kentalnya politik uang (money politics) dan politik perbandaran para cukong di pilkada langsung, terutama jelang pelaksanaan Pilkada 2020, dapat diakui cukup menggegerkan.

Kendati perihal politik uang para cukong itu sejatinya merupakan rahasia umum (public secret), yang kerap dibahas berbagai kalangan, namun jika pernyataan itu keluar dari seorang pejabat negara selevel menteri yang notabene "orang dalam Istana", maka menelisik motifnya merupakan suatu persoalan menarik tersendiri.

Apakah ini pengalihan isu yang lebih besar?

Entah tentang politik dinasti klan Jokowi dengan majunya sang sulung Gibran Rakabumi sebagai kandidat wali kota Solo dan sang menantu Bobby Nasution di pilkada wali kota Medan atau isu korupsi kelas paus (Djoko Tjandra, Jiwasraya, Harun Masiku, dll).

Apakah ini sekadar permainan bad cop and good cop (polisi jahat dan polisi baik) dalam lingkaran RI 1? Dan apakah Mahfud yang kali ini berperan sebagai sang good cop (polisi baik), yang turun menggebrak tiba-tiba sesuai skenario yang diarahkan?

Ataukah Mahfud ingin meningkatkan citra kinerjanya di depan Presiden Jokowi agar "selamat" dari rencana perombakan kabinet?

Atau apakah Mahfud mulai "tobat" dan menyadari kesalahannya dengan melakukan perbaikan dari dalam?

Salah seorang kawan saya sangat meyakini teori ini. Maklum, ia pengagum sang profesor sekaligus pendukung berat Prabowo Soebianto.

Ketika Mahfud dan Prabowo "bercerai" pada pilpres 2019, setelah sebelumnya keduanya berkongsi pada pilpres 2014, sang kawan sedih bukan kepalang. Dan ia tambah sedih ketika melihat sang idola "dipermainkan" dengan drama penunjukan kandidat calon wakil presiden (cawapres) Jokowi yang, menurutnya, "drama PHP" alias drama Pemberi Harapan Palsu.

Betapa seorang politisi, akademisi serta da'i sekaliber Prof. Mahfud MD, yang telah "rela" berpisah dari kubu Prabowo, yang sebagian pendukung bahkan menyebutnya "pengkhianat" (sebuah label pejoratif yang juga disematkan kepada Ali Muchtar Ngabalin, Yusril Ihza Mahendra, Ustaz Yusuf Mansyur dan Tuan Guru Bajang Zainuddin Majdi) hanya diberikan iming-iming "harapan palsu" sebagai cawapres dengan cara yang tidak elegan menurut fatsoen (tata krama) politik.

Padahal sebagai calon presiden pun kualifikasi sang profesor hukum tata negara tersebut sudah sangat memadai. Pengalaman menjabatnya lengkap, demikian juga latar belakang sosial dan akademiknya. Ia pun pintar bernegosiasi dan cerdas menyusun kata, jauh lebih lihai daripada para kontestan pilpres RI selama dua periode terakhir ini.

Jadi, jika sebelumnya, dengan lidah tajamnya yang merupakan kekuatan sekaligus kelemahannya, Menteri Mahfud MD menyindir Gubernur Anies Baswedan, terkait PSBB Jakarta, sebagai "penata kata" alih-alih "penata kota", sejatinya berlakulah kebenaran pepatah menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri.

Dalam seni pengolahan kata dan diplomasi lisan, kemahiran Mahfud, sesuai predikat profesornya, yang tentu saja bukan merupakan panggilan sayang, jelas di atas Anies Baswedan yang bergelar Doktor. Tapi demikianlah manusia. Ia tempatnya salah dan lupa. To err is human.

Dan belum lagi terkadang kita mengidap miopia alias rabun ayam untuk hal-hal buruk berskala besar di dekat kita namun sangat jeli untuk keburukan orang lain kendati setitik. Gajah di pelupuk mata tidak tampak; semut di seberang lautan tampak.

Back to laptop, lantas apakah motif manuver Mahfud adalah untuk menyigi peluangnya dalam bursa pencapresan pada pilpres 2024?

Entahlah. Semua motif itu mustahak adanya. Yang jelas, sebagaimana dipaparkan panjang lebar di atas, seorang Mahfud MD sangat potensial dan lengkap sebagai pribadi dan sebagai kandidat pemimpin bangsa ini.

Jikalau Prof. Mahfud MD pandai memainkan irama politik, tekun merawat energi dan momentum serta rela bertungkus lumus dalam memperluas basis konstituen dan jejaring pendukung, tidak mustahil namanya akan diperhitungkan sebagai kompetitor alternatif selain para kandidat yang terlebih dulu populer seperti Prabowo Soebianto, Puan Maharani, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Ganjar Pranowo, Gatot Nurmantyo, Agus Harimurti Yudhoyono atau Tri Rismaharini.

Jika seorang Giring Ganesha punya nyali mencalonkan diri, mengapa seorang Profesor Mahfud MD tidak berani?

Namun, sebagai catatan akhir, tampaknya untuk menjadi presiden atau pemimpin negeri ini, sebagaimana yang sudah-sudah, berdasarkan perjalanan sejarah bangsa ini haruslah memiliki atau didukung dengan magic factor 3M, yakni Material, Momentum, dan Miracle (Keajaiban).

Ambil contoh Soeharto dan Jokowi, misalnya.

Siapa yang mengira Soeharto, seorang anak desa miskin dan tentara KNIL yang notabene didikan penjajah Belanda serta pernah nyaris dipecat dari TNI karena kasus korupsi beras di kesatuannya semasa Revolusi Kemerdekaan, bisa tampil terdepan menggantikan Soekarno sebagai presiden RI?

Jangan lupakan momentum G30S PKI (Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia). Terlepas apakah "kudeta gagal" itu rekayasa atau faktor kecelakaan sejarah.

Dan siapa pula yang mengira seorang pedagang mebel dari kota kecil Solo seperti Jokowi, yang semasa Reformasi 1998 tidak terlibat dalam pusaran perjuangan Reformasi di Jakarta, akhirnya sukses meraih tampuk kepresidenan bahkan selama 2 periode berturut-turut, melebihi Megawati Soekarnoputri yang merupakan "atasan" dan mentor politiknya sendiri?

Jangan lupakan juga momentum wacana mobil nasional (mobnas) Esemka. Terlepas apakah wacana proyek mobnas itu rekayasa barisan spin doctor (propagandis dan ahli strategi) atau faktor keberuntungan semata.

Jika faktor Momentum mengemuka maka Material akan bertumbuh, seperti ikut tumbuhnya rumput saat kita menanam padi. Dan jika 2M terpenuhi, maka faktor terakhirnya yakni Miracle, sejatinya adalah ranah prerogatif Tuhan semata.

Maka, jika bukan karena faktor 3M tadi, mustahil Jokowi mengalahkan Prabowo, sang jenderal hebat dari trah keluarga terpandang (ayahnya menteri di era Soekarno; kakeknya pendiri bank nasional terbesar, dan pamannya seorang pahlawan nasional), yang pada 1998 terlibat dalam dinamika sejarah Reformasi yang berujung pada runtuhnya rezim Orde Baru yang dibangun oleh sang mertuanya sendiri, Jenderal Besar Soeharto.

Nah, bagaimana dengan Prof. Mahfud MD? Punyakah ia magic factor atau "faktor sakti" 3M tadi?

Jika tidak, akankah faktor 3M itu menghampirinya laksana Wahyu Satria Piningit yang selalu dimitoskan kehadirannya dalam setiap peralihan kepemimpinan di negeri ini?

Entahlah. Kita hanya bisa menebak, para kandidat hanya bisa berkehendak dan bergerak sesuai ikhtiarnya, sementara Tuhan jua yang menetapkan takdir akhirnya.

 

Jakarta, 18 September 2020

Referensi:

1. tribunnews.com
2. kompas.com

Baca Juga:

Perceraian adalah Episode Jodoh, Sesakit Apapun Itu dan  Syair Jomlo

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun