Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Konsultan Partikelir

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

The Magic of Like

1 Februari 2020   22:13 Diperbarui: 4 Februari 2020   14:44 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: facebook.com

Sebagai makhluk generasi jauh di atas mereka (generasi X), jelas saya heran. Sedemikian berharganyakah like itu bagi mereka, generasi milenial dan generasi Z, generasi rebahan? Karena buat saya, yang pernah dengan enteng saja puasa medsos sekitar tiga tahunan, jumlah like tak berpengaruh bagi mood, gengsi atau harga diri saya (karena lebih sering sepi juga, jadi ya dibawa santuy aja,hehe). 

Jadi tak perlu juga saya kasih like untuk postingan saya sendiri. Meskipun saya tahu banyak yang melakukannya untuk "menyundul" postingan isu penting (setidaknya buat dirinya) yang diusungnya agar tak tenggelam dalam lautan lini massa medsos.

Nah, penasaran dan keheranan saya kian membuncah setelah ada kejadian pertengkaran (nyaris bentrok fisik) di antara para abege itu gegara postingan medsos. Yang satu mengemis minta sedekah like, yang lain menertawakan. Hingga nyaris baku hantam. Aneh! Setidaknya buat saya saat itu.

Selidik punya selidik, terutama setelah saya sempat membaca berita pelajar SMA yang dirisak (di-bully) teman-temannya karena menolak kasih like di postingan kawannya atau berita tragis gantung diri cewek usia SMP karena dipermalukan rekan sekolahnya (difoto dalam keadaan tak senonoh dan disebarkan via medsos, katanya untuk lucu-lucuan), mafhumlah saya bahwa like di medsos bagi generasi langgas alias milenial sudah menjadi new currency, mata uang baru, setidaknya dalam lingkup pergaulan sosial mereka.

Survei dari Royal Society for Public Health dengan sasaran kalangan muda usia 14-24 tahun di Inggris juga menegaskan fakta tersebut. Hasil survei tersebut menemukan bahwa Snapchat, Facebook, Twitter, dan Instagram semuanya meningkatkan perasaan depresi, kecemasan, citra tubuh yang buruk, dan kesepian (Republika, 29 November 2019).

Alhasil, elo gak kasih like, elo gak asyik! Elo gak beli jualan gw, gw bisa bangkrut nih! Kasarnya sih begitu. Apalagi jika diteroka lebih jauh dalam konteks profit komersial sebagai vlogger atau youtuber yang menjadi profesi idaman kalangan milenial (termasuk anak tetangga saya, gadis cilik usia 8 tahun!), urusannya pun kian ribet.

Bahkan konon, dari hasil googling, ada magic number untuk statistik like yakni sebelas. Jika Anda posting foto di IG atau status FB dan tak sampai sebelas jempol atau like yang digaet, berarti itu postingan gagal. Mending dimodifikasi ulang atau ditarik. Ini jelas bukan urusan main-main, tampaknya. Meskipun, bagi saya dan mungkin Anda, mereka hanya tampak sedang bermain-main.

Abraham Maslow, sang psikolog Amerika Serikat yang legendaris, tepat sekali saat mengatakan bahwa self-esteem (harga diri atau citra diri) adalah tahapan kebutuhan manusia setelah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, yakni sandang dan pangan. 

Dan di era kiwari, terutama untuk generasi rebahan yang menurut para pakar psikologi digolongkan sebagai generasi native digital, itu semua tersalurkan lewat media sosial.

So, like does matters, Bro!

Jagakarsa, 1 Februari 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun