Mohon tunggu...
Nurhaliza Hanalia Putri
Nurhaliza Hanalia Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Sastra Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kirani

17 Juni 2023   10:45 Diperbarui: 17 Juni 2023   10:57 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Sini berteduh dulu, nanti sepatu kamu basah," ucap perempuan itu saat aku mencoba menerobos hujan. Sore ini Kota Bandung sedang diguyur hujan deras. Tiada hari aku lalui tanpa hujan. Ya bagaimana lagi, saat ini memang sedang musim hujan juga. Perempuan yang tadi menyuruhku untuk berteduh berdiri di sampingku, sepertinya ia seorang mahasiswa. Terlihat dari tampilannya dan bawaan yang sedang dibawanya.

Tak sampai satu jam, hujan pun mulai reda. Aku mulai bersiap untuk melanjutkan perjalanan pulangku. Perempuan tadi masih setia di tempatnya. Dari tadi dirinya terus sibuk memandangi jam tangannya. Aku inisiatif untuk menawarkan tumpangan padanya, takutnya ia sedang buru-buru.

"Kamu mau menumpang denganku?" Tanyaku pada perempuan itu.

"Emm apa tidak merepotkan?" 

"Tidak, memang kamu mau pergi kemana?"

"Aku mau pergi ke rumah sakit, kamu bisa antar aku?"


"Boleh, yu naik," ajakku kepadanya.

Selama di perjalanan menuju rumah sakit, hanya keheningan yang menyelimuti kami. Hujan belum sepenuhnya reda, sebenarnya hari ini aku membawa mobil. Namun saat aku akan menuju parkiran cafe tempat tadi aku berkumpul, hujan tiba-tiba deras dan sialnya aku lupa membawa payung. Untuk memecah keheningan, aku mencoba untuk memulai percakapan.

"Kamu apa ke rumah sakit?" Tanyaku dengan pandangan tetap fokus pada jalanan.

"Ibuku sakit," jawabnya dengan singkat.

"Oiya, sebelumnya kita belum berkenalan. Perkenalkan namaku Reza," ucapku sambil mengulurkan tangan.

"Ahh iyaa, namaku Kirani. Panggil Kiran saja ya," jawab perempuan itu yang kini telah ku ketahui bernama Kiran.

Setelah perkenalan singkat itu, mobil masih melaju di jalanan. Sore ini jalanan cukup padat, mungkin karena jam pulang kantor. Orang-orang ingin segera sampai di rumahnya dan beristirahat. Termasuk aku, aku ingin segera sampai di rumah, tetapi tidak tega meninggalkan Kiran sendirian dengan wajahnya yang khawatir.

"Sudah sampai," ucapku membuyarkan lamunannya.

"Ah, iya. Terima kasih Za, mau ikut ke dalam dulu?" Jawabnya berbasa-basi.

"Ah tidak, terima kasih. Aku pamit pulang ya..." Kiran tidak membalas ucapanku, dia hanya tersenyum lalu mengangguk dengan singkat dan langsung pergi begitu saja. Aku memerhatikan dia dari kejauhan, raut wajahnya tak henti menunjukkan kekhawatiran. Entah apa yang ia khawatirkan, tapi semoga urusannya cepat selesai.

Saat ini aku sudah sampai di rumah. Langsung saja aku bergegas untuk membersihkan diri agar badanku kembali segar. Selepas mandi dan sholat magrib, aku mengistirahatkan dulu tubuhku sejenak. Badanku yang lemas kubiarkan untuk terkulai di kasur yang empuk ini. Saat aku mencoba memejamkan mata sejenak, kilasan kejadian tadi tiba-tiba terputar kembali di otakku.

Entah mengapa tiba-tiba wajah Kira memenuhi pikiranku. Sontak saja aku menggelengkan kepala dengan cepat untuk menepis bayangan itu. Namun, tidak bisa. Matanya yang sayu dengan sorotnya yang lembut itu membuat dadaku berdesir. Aku terkekeh, bagaimana bisa jantungku berdebar hanya karena  mengingat pertemuan singkat untuk pertama kalinya dengan perempuan itu?

**

Hari ini cuaca Kota Bandung tak seperti biasanya. Matahari cukup terik memancarkan sinarnya. Karena hari ini juga hari Minggu, aku bersiap untuk pergi Lapangan Gasibu. Rasanya sudah lama aku tidak menggerakan badan untuk olah raga. Pekerjaanku setiap hari hanya duduk di depan layar komputer. Setelah pemanasan, langsung saja aku berlari beberapa putaran memutari Lapangan Gasibu ini. Lumayan, membuatku berkeringat. Sejenak aku beristirahat, aku berjalan ke pinggir lapangan sembari membeli sebotol air mineral.

"Ki-ran?" Sapaku ragu.

"Eh, hai Reza," jawabnya membalas sapaanku.

Ternyata benar, perempuan yang sedang duduk sambil memakan telur gulung itu Kiran. Dia terlihat sedang duduk sendirian, lantas aku mendekatinya dan duduk di sampingnya.

"Sendirian saja ini?" Tanyaku basa-basi.

"Iyaa, kamu juga?"

"Iyaa, aku sendiri. Kamu apa disini? Olah raga juga atau cuman beli telur gulung?" Aku bertanya dengan nada bercanda.

"Hehehe iya cuman beli telur gulung. Tiap hari Minggu aku kesini."

"Wah, rajin banget..." Jawabku kagum.

"Tapi..... Cuman buat beli telur gulung......" Lantas aku tergelak tertawa mendengar jawaban Kiran. Hm, lucu juga perempuan ini. Aku semakin tertarik padanya.

"Abis dari sini kamu mau kemana?"

"Hmmm, kayanya gak mau kemana-mana juga sihh..." Jawaban Kiran membuat kepalaku tiba-tiba memiliki ide. Aku berniat mengajak Kiran jalan-jalan, entah kemana. Kesempatan ini akan kugunakan untuk mengenalnya lebih jauh lagi. Kiran yang kutemui hari ini rasanya berbeda dengan Kiran yang kutemui saat pertama kita bertemu. Kiran saat ini terasa lebih hangat.

"Kalo begitu, mau ikut aku jalan-jalan gak?"

"Serius ini? Kamu ngajakin aku?" Tanya Kiran lagi dengan wajahnya yang sangat antusias.

"Iya ayo, tapi aku engga ada tujuan. Keliling-keliling aja gimana?" Tawarku sambil mengangkat kedua alis.

"Iyaaaa, gapapaaa, ayooo!!!" Jawabnya semangat.

Sekarang aku dan Kiran sudah berada di mobilku. Sepanjang perjalanan mengelilingi Kota Bandung ini, aku dan Kiran saling melempar candaan. Mobilku penuh dengan tawa kebahagiaan, aku semakin yakin untuk mendekatinya. Seperti terdengar mustahil memang, baru dua kali bertemu saja aku sudah jatuh hati pada perempuan itu. Memikirkan hal-hal kedepannya membuatku tersenyum tipis.

"Ih hayoloh lagi mikirin apa? Kok senyum-senyum?" Tanya Kiran jahil sambil menusuk-nusuk pelan pundakku.

"Lagi mikirin masa depan bareng kamu," jawabku iseng. Mendengar jawaban seperti itu dari mulutku, pipi Kiran berubah menjadi merah seperti buah tomat, lucu sekali melihatnya salah tingkah.

"Ih pipi Kiran merah," ledekku kepadanya.

"Ahh apasiii kamuuu, kok malah ledekin akuuu," katanya sambil menyembunyikan wajahnya di kedua telapak tangannya. Ah semakin menggemaskan saja perempuan ini. Tuhan, bolehkah aku memilikinya?

**

Aku sudah mengantar Kiran kembali ke rumahnya, tadi saat aku mengantarnya, aku bertemu  dengan ibunya Kiran, Ibunya Kiran menyambut kedatanganku dengan hangat. Aku semakin merasa yakin kalau aku akan diterima oleh Kiran. Sepertinya pertemuan selanjutnya aku harus menyatakan perasaanku padanya. Terlalu cepat memang, tapi aku tak ingin Kiran dimiliki oleh pria lain. Tadi juga, saat perjalanan mengantar Kiran ke rumahnya, kita sempat bertukar kontak, hal ini membuatku lebih mudah untuk mendekatinya.

Hari ini rasanya aku bahagia sekali. Kejadian tak disangka saat sore itu, membawaku bertemu dengan perempuan cantik bernama Kirani. Bertemu dengannya seperti aku menemukan kebahagiaan, terlalu hiperbola memang, tapi begitulah kenyataannya bagiku. Minggu depan aku harus mengajaknya bertemu, hatiku sudah bulat aku akan memintanya menjadi kekasihku.

Hari ini adalah saatnya, setelah obrolan panjang dalam whatsapp aku mengajak Kiran bertemu di sebuah tempat, semoga saja Kiran menyukai tempat ini. Aku langsung saja bergegas menyiapkan diri dan menjemput Kiran. Tadinya kiran tidak ingin dijemput, hanya saja aku bersikeras untuk menjemputnya.

"Yu, langsung saja naik tuan putri," ucapku sembari membukakan pintu mobil untuknya.

"Baik, terima kasih pangeran," Kiran menjawab candaanku.

Perjalanan menuju tempat itu tidak terlalu lama, hanya membutuhkan waktu sekitar kurang lebih 40 menit kita sudah sampai.  Langsung saja aku turun dari mobil dan membukakan pintu lagi untuk Kiran. Aku langsung menggandeng tangannya menuju tempat yang sudah aku persiapkan. Diperlakukan seperti ini, Kiran terlihat malu-malu tetapi tetap menerima perlakuanku.

Aku dan Kiran sudah sampai di tempat yang dituju, aku mempersilakan Kiran untuk duduk terlebih dahulu. Setelah Kiran duduk, aku kembali ke mobil untuk membawa seikat bunga. Aku segera kembali ke tempat Kiran, Kiran terkejut melihatku membawa seikat bunga. Tanpa berbasa-basi lagi aku segera menyatakan perasaanku padanya.

"Kiran? Kamu tau? Semenjak pertemuan pertama kita saat sore itu, aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Memang ini terbilang terlalu cepat untuk aku mengungkapkannya, tapi aku tidak mau berlama-lama lagi. Jadi maukah kamu menjadi kekasihku?" Tanyaku sembari mengulurkan seikat bunga yang sedang aku pegang.

**

Aku tertawa mengingat semua kejadian konyol itu, bagaimana bisa aku menyatakan perasaanku pada perempuan itu saat pertemuan ketiga kalinya? Bodoh memang, jelas saja Kiran menolakku. Aku terlalu gegabah, hatiku terlalu menggebu-gebu untuk segera memilikinya.

"AYAAHHH!!" Teriak seorang anak kecil itu kepadaku.

"Iya kenapa sayang?" Tanyaku sembari memangku anak kecil itu.

"Ibu marah padaku, gara-gara aku tidak ingin meminum obat," adu anak itu padaku.

Oh iya, perkenalkan ini Arzan. Anakku dengan Kiran. Aku akan melanjutkan sedikit ceritaku. Meskipun saat itu aku ditolak Kiran, Kiran masih mau menerimaku sebagai temannya. Lama berteman dengan dia, membuatku semakin mengenal Kiran dan keluarganya lebih jauh. Sekitar tiga tahun dari kejadian tersebut, aku tidak lagi memintanya untuk menjadi kekasihku. Aku langsung saja memintanya untuk menjadi istriku. Kala itu langsung di hadapan keluarganya, aku meminang Kiran menjadi istriku.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun