Seorang sutradara juga harus menjaga keharmonisan para kru di lapangan. Sebisa mungkin ia harus menciptakan lingkungan garapan yang sehat namun tetap progresif. Dalam prosesnya, sutradara juga harus memikirkan 'jalan pintas' jika terjadi sesuatu hal secara mendadak. Misalnya, dalam proses yang cukup singkat, dana yang dipegang ternyata tidak cukup untuk memenuhi ide-ide tertentu. Maka, sutradara harus mengatasi permasalahan yang demikian dengan mencari 'jalan pintas' agar ide-ide tersebut tetap tersampaikan.
2)Masalah Sosial Masyarakat
Jika poin masalah sebelumnya berfokus pada hal-hal teknis, maka dalam poin masalah ini kita akan bicara tentang pengaruhnya terhadap khalayak publik. Setidak-tidaknya akan muncul pertanyaan di kepala Anda yang berbunyi: bagaimana jika karya ini tidak diterima dengan baik oleh masyarakat dan malah memicu polemik yang rumit bagi kalangan tertentu? Atau, apakah isu yang diangkat dalam karya ini berguna bagi masyarakat?
Seorang sutradara harus bisa melakukan perencanaan yang matang agar isu yang diangkat ke dalam karyanya dapat ditampilkan dengan baik. Dan untuk mencapai hal tersebut, seorang sutradarajuga kruharus melakukan riset dan observasi. Dalam proses garapan teater, misalnya. Ada tiga bentuk observasi yang bisa dilakukan oleh sutradara mau pun kru, yakni: lapangan, media, dan pustaka. Untuk hasil riset yang mendalam, maka ketiga-tiganya wajib dilakukan. Sutradara harus mengkaji lebih dalam naskah yang digarapnya dengan melakukan riset lapangan, seperti: mengunjungi tempat yang menjadi latar cerita, mewawancarai tokoh-tokoh tertentu yang berkenaan dengan isu cerita, dan lain sebagainyatergantung kebutuhan. Riset berdasarkan media dapat dilakukan dengan mencari hal-hal yang dibutuhkan untuk garapan melalui media, seperti: menonton video penjelasan sejarah suatu tempat, melihat gambar-gambar tertentu di media sosial, dan lain-lain. Kemudian, bentuk riset pustaka ialah dengan menelisik bacaan-bacaan yang berkaitan dengan isu-isu yang diangkat dalam naskah. Maka dari itu, akan sangat baik jika seorang sutradara memiliki kebiasaan gemar membaca buku. Maka dalam poin ini, dapat dikatakan bahwa modal utama seorang sutradara tidak hanya ide-ide yang brilian. Melainkan, ia juga harus memiliki banyak ilmu pengetahuan.
Dengan ilmu yang sangat minim, saya pernah beberapa kali menjejali posisi sebagai sutradara teater. Jika ditanya tentang bagaimana proses dan hasil karyanya, maka sudah saya katakan bahwa semua tidak selalu berjalan baik. Saya terlalu banyak diketemukan dengan yang namanya kegagalan. Tapi melalui kegagalan-kegagalan itu, saya justru memperoleh catatan-catatan baru untuk tidak melakukan kesalahan serupa. Namun juga begitu sulit untuk menghindari kesalahan-kesalahan baruyang bisa saja lebih besar dari kesalahan sebelumnya. Bahkan pernah di suatu titik, saya merasa bahwa saya hanyalah pembawa sial bagi kawan-kawan yang bekerja dalam proses yang sama. Saya merasa bahwa yang saya hasilkan hanyalah kecacatan-kecacatan baru ketika kegagalan-kegagalan lama juga belum terselesaikan. Menambah 'ketidakberhasilan' baru, itulah hal yang sering muncul dalam pikiran saya ketika saya gagal menjadi sutradara yang baik. Namun di satu sisi pula, saya berharap bahwa rekan-rekan kesenian yang pernah bekerja dengan saya dapat berproses dengan cara yang lebih baik.
Samarinda, Februari 2025
Daftar Pustaka:
Husnil Fajri, Dynia Fitri, & Wahyu Nova Riski. (2023). Mise-En-Scene Sebagai Pendukung Unsur Dramatik Film Penyalin Cahaya. Jurnal CINELOOK: Journal of Film, Television, and New Media, vol. 1, no. 1, hal. 12-26.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI