Proses seleksi berjalan mulus. Interview demi interview berhasil kulewati. Sampai akhirnya, aku lolos ke tahap final berhadapan dengan satu kandidat lainnya. Rasanya seperti mimpi. Setelah sekian lama merasa stuck, akhirnya ada harapan untuk kembali ke jalur yang sesuai passion.
Tapi takdir berkata lain.
Di tahap final itu, aku harus mengakui kekalahan. Kandidat lainnya yang terpilih dan kami malah jadi teman hingga sekarang. Kecewa? Tentu saja. Tapi ada satu hal yang kupelajari dari momen itu: kadang yang tidak terjadi hari ini, mungkin sedang disiapkan untuk hari yang lebih tepat.
Mau tidak mau, aku kembali ke rumah. Kembali ke rutinitas bisnis keluarga yang familiar tapi melelahkan jiwa.
Berpuluh Kali Mencoba, Berpuluh Kali Ditolak
Tapi aku tidak menyerah begitu saja. Setelah "kekalahan" di tahun 2023, aku semakin rajin melamar pekerjaan. Berpuluh-puluh lamaran kukirim ke berbagai tempat. Dan seperti yang sering dikatakan orang, mencari pekerjaan di zaman sekarang memang tidak mudah.
Polanya hampir selalu sama: lolos tahap administrasi, dipanggil interview, lalu.... tidak ada kabar. Berulang kali. Hingga aku mulai mempertanyakan, apa yang salah dengan diriku? Apakah skillku kurang? Apakah pengalaman tiga tahun di bisnis keluarga justru menjadi bumerang?
Aku juga sempat mengambil pekerjaan sebagai joki tesis untuk mahasiswa pascasarjana. Empat bulan lamanya aku menjalani pekerjaan itu bukan karena passion, tapi karena survival mode. Butuh income, butuh tetap produktif, meski hati kecil terus bertanya: "Sampai kapan seperti ini?"
Plot Twist yang Tidak Terduga
Bulan Maret 2025. Aku masih ingat betul momen itu.
Beberapa minggu setelah Lebaran, teleponku berdering. Di ujung sana, terdengar suara yang familiar teman yang dulu menjadi "lawan" di tahap final interview tahun 2023. Dengan suara yang terdengar berat, dia menyampaikan kabar yang mengejutkan: dia akan mengundurkan diri dari posisi guru BK di sekolah itu karena urusan keluarga yang tidak bisa ditinggalkan.
"Aku ingat kamu dulu juga melamar di sini," katanya. "Sekolah butuh pengganti dengan cepat. Mau tidak kamu menggantikanku?"
Perasaanku campur aduk. Bahagia karena akhirnya ada kesempatan kedua, tapi juga sedih melihat teman yang harus melepaskan pekerjaan yang sangat dicintainya. Keluarga memang pilihan utama dibanding segalanya dan aku sangat memahami keputusan beratnya.