Dengan hati yang cerah dan harapan yang kembali menyala, aku berangkat ke sekolah itu. Bertemu langsung dengan kepala sekolah di hari pertama, mendengar penjelasan bahwa aku akan menjadi guru pengganti terlebih dulu hingga akhir tahun ajaran. "Kalau kinerjamu baik, kamu akan diangkat jadi guru tetap setelah masa magang tiga bulan," begitu janjinya.
Aku senang mendengar itu. Dalam hati berkata, "Tidak apa jadi guru pengganti dulu. Yang penting ada kesempatan untuk membuktikan diri."
Ketika Harapan Dipatahkan Lagi
Beberapa bulan menjalani peran sebagai guru BK, aku merasa hidup punya arah lagi. Pagi hingga sore di sekolah, sore hingga malam mengajar privat seperti yang pernah kulakukan semasa kuliah dulu. Rasanya productive, meaningful, sesuai dengan passion di bidang psikologi.
Namun sekali lagi, ekspektasiku dipatahkan.
Sekolah memutuskan melakukan efisiensi dana karena pembangunan gedung baru. Janji untuk diangkat menjadi guru tetap tidak lagi relevan. Sekali lagi saya harus menghadapi kenyataan pahit: harapan yang runtuh di tengah jalan.
Stress dan overthinking yang kurasakan begitu intens sampai mengacaukan siklus menstruasiku. Tubuh bereaksi terhadap tekanan mental yang tidak bisa lagi kubendung. Aku tahu ini tidak sehat, tapi rasanya sulit untuk tidak larut dalam kekecewaan.
Bertanya-tanya dalam hati: "Kenapa selalu begini? Kenapa harapan selalu harus kandas di tengah jalan?"
Berdamai dengan Ekspektasi
Setelah beberapa minggu tenggelam dalam pikiran yang tidak menentu, aku akhirnya memilih untuk bangkit. Daripada mengutuk nasib, lebih baik mencari solusi dan makna di balik semua yang terjadi.
Apakah ini mudah? Tidak. Apakah sesuai rencana awal saya? Tidak juga. Di sinilah aku belajar sesuatu yang sangat berharga: tentang ekspektasi.
Ketika rencana tidak berjalan sesuai harapan, aku merasa seluruh dunia runtuh. Padahal, hidup memang tidak selalu linear. Manusia boleh berencana sebanyak-banyaknya, tapi tetap ada Tangan yang Maha Kuasa yang menentukan jalan mana yang terbaik untuk kita.
Aku mulai belajar bahwa berekspektasi tinggi itu boleh bahkan perlu tapi kita juga harus siap berdamai ketika jalan hidup tidak sesuai rencana. Kita perlu ada momen untuk slow, untuk menerima, untuk memahami bahwa timeline setiap orang berbeda.