Pindah karier di usia 30-an bagiku bukan sekadar mengganti pekerjaan, melainkan perjalanan menemukan arti sabar, berdamai dengan ekspektasi, dan tetap menjaga api mimpi meski jalannya sering berliku. Ada pahitnya janji yang tak ditepati, kesempatan yang hilang tapi juga ada manisnya: keberanian, pengalaman, dan keyakinan bahwa tak ada kata terlambat untuk bangkit.
Mereka bilang usia 30-an adalah masa untuk "settle down" karir yang stabil, hidup yang mapan, segalanya sudah on track. Tapi bagaimana jika justru di usia inilah kita merasa paling tidak stabil? Bagaimana jika mimpi yang dulu dibangun begitu indah ternyata harus mengambil jalan memutar yang tak pernah terbayangkan?
Pertanyaan ini terus menggema di benakku, terutama ketika melihat teman-teman sebaya yang sudah stabil dengan karir mereka, sementara aku masih berkutat dengan ketidakpastian. Quarter life crisis, begitu orang menyebutnya. Fase di mana kita terjebak antara mimpi masa lalu dan realita yang harus dihadapi hari ini.
Sebagai seorang lulusan Psikologi yang kini berusia menjelang 30, perjalanan karirku jauh dari yang pernah kubayangkan. Dan mungkin, cerita ini akan terdengar familiar bagi kamu yang sedang berada di persimpangan yang sama.
Mimpi yang Belum Jadi Kenyataan
Dulu, setelah lulus S1 Psikologi, hidupku terasa begitu terarah. Punya rencana yang jelas: lanjut S2 Psikologi Murni, ambil profesi psikolog, lalu berkontribusi membantu orang-orang yang membutuhkan. Bayangannya mudah, Â Tapi siapa sangka, realita hidup tidak selalu semulus apa yang direncanakan.
Setelah wisuda, bukannya langsung melanjutkan studi, aku malah harus "mampir" dulu ke bisnis keluarga. Menjadi admin keuangan pengelola bisnis pengiriman buah ke pedagang-pedagang di Pasar Induk Jakarta. Awalnya kupikir ini hanya sementara sambil menunggu waktu yang tepat untuk lanjut S2.
Yang "sementara" itu ternyata berlangsung selama tiga tahun.
Bekerja dengan keluarga memang ada plus minusnya. Plusnya: Ada rasa aman, ada keterikatan, waktu fleksibel, Tapi minusnya? Aku merasa terisolasi dari dunia profesional yang seharusnya. Tidak ada komunitas, tidak ada networking, bahkan ide-ide di kepalaku rasanya mulai "mati" karena terjebak dalam rutinitas yang itu-itu saja.
Zona nyaman yang awalnya terasa aman, perlahan berubah menjadi zona abu-abu yang menjebak. Aku merasa stagnan, tidak berkembang, dan yang tidak mengenakan merasa jauh dari passion yang seharusnya kujalani.
Percobaan Pertama: Hampir Sampai, Tapi...
Pada tahun 2023, akhirnya aku memberanikan diri untuk keluar dari zona abu-abu itu. Melamar menjadi guru BK di salah satu sekolah SD swasta favorit dan bergengsi di Semarang. Deg-degan? Pasti. Tapi ada excitement yang luar biasa karena akhirnya bisa menggunakan background psikologi yang sudah lama "menganggur."
Proses seleksi berjalan mulus. Interview demi interview berhasil kulewati. Sampai akhirnya, aku lolos ke tahap final berhadapan dengan satu kandidat lainnya. Rasanya seperti mimpi. Setelah sekian lama merasa stuck, akhirnya ada harapan untuk kembali ke jalur yang sesuai passion.
Tapi takdir berkata lain.
Di tahap final itu, aku harus mengakui kekalahan. Kandidat lainnya yang terpilih dan kami malah jadi teman hingga sekarang. Kecewa? Tentu saja. Tapi ada satu hal yang kupelajari dari momen itu: kadang yang tidak terjadi hari ini, mungkin sedang disiapkan untuk hari yang lebih tepat.
Mau tidak mau, aku kembali ke rumah. Kembali ke rutinitas bisnis keluarga yang familiar tapi melelahkan jiwa.
Berpuluh Kali Mencoba, Berpuluh Kali Ditolak
Tapi aku tidak menyerah begitu saja. Setelah "kekalahan" di tahun 2023, aku semakin rajin melamar pekerjaan. Berpuluh-puluh lamaran kukirim ke berbagai tempat. Dan seperti yang sering dikatakan orang, mencari pekerjaan di zaman sekarang memang tidak mudah.
Polanya hampir selalu sama: lolos tahap administrasi, dipanggil interview, lalu.... tidak ada kabar. Berulang kali. Hingga aku mulai mempertanyakan, apa yang salah dengan diriku? Apakah skillku kurang? Apakah pengalaman tiga tahun di bisnis keluarga justru menjadi bumerang?
Aku juga sempat mengambil pekerjaan sebagai joki tesis untuk mahasiswa pascasarjana. Empat bulan lamanya aku menjalani pekerjaan itu bukan karena passion, tapi karena survival mode. Butuh income, butuh tetap produktif, meski hati kecil terus bertanya: "Sampai kapan seperti ini?"
Plot Twist yang Tidak Terduga
Bulan Maret 2025. Aku masih ingat betul momen itu.
Beberapa minggu setelah Lebaran, teleponku berdering. Di ujung sana, terdengar suara yang familiar teman yang dulu menjadi "lawan" di tahap final interview tahun 2023. Dengan suara yang terdengar berat, dia menyampaikan kabar yang mengejutkan: dia akan mengundurkan diri dari posisi guru BK di sekolah itu karena urusan keluarga yang tidak bisa ditinggalkan.
"Aku ingat kamu dulu juga melamar di sini," katanya. "Sekolah butuh pengganti dengan cepat. Mau tidak kamu menggantikanku?"
Perasaanku campur aduk. Bahagia karena akhirnya ada kesempatan kedua, tapi juga sedih melihat teman yang harus melepaskan pekerjaan yang sangat dicintainya. Keluarga memang pilihan utama dibanding segalanya dan aku sangat memahami keputusan beratnya.
Dengan hati yang cerah dan harapan yang kembali menyala, aku berangkat ke sekolah itu. Bertemu langsung dengan kepala sekolah di hari pertama, mendengar penjelasan bahwa aku akan menjadi guru pengganti terlebih dulu hingga akhir tahun ajaran. "Kalau kinerjamu baik, kamu akan diangkat jadi guru tetap setelah masa magang tiga bulan," begitu janjinya.
Aku senang mendengar itu. Dalam hati berkata, "Tidak apa jadi guru pengganti dulu. Yang penting ada kesempatan untuk membuktikan diri."
Ketika Harapan Dipatahkan Lagi
Beberapa bulan menjalani peran sebagai guru BK, aku merasa hidup punya arah lagi. Pagi hingga sore di sekolah, sore hingga malam mengajar privat seperti yang pernah kulakukan semasa kuliah dulu. Rasanya productive, meaningful, sesuai dengan passion di bidang psikologi.
Namun sekali lagi, ekspektasiku dipatahkan.
Sekolah memutuskan melakukan efisiensi dana karena pembangunan gedung baru. Janji untuk diangkat menjadi guru tetap tidak lagi relevan. Sekali lagi saya harus menghadapi kenyataan pahit: harapan yang runtuh di tengah jalan.
Stress dan overthinking yang kurasakan begitu intens sampai mengacaukan siklus menstruasiku. Tubuh bereaksi terhadap tekanan mental yang tidak bisa lagi kubendung. Aku tahu ini tidak sehat, tapi rasanya sulit untuk tidak larut dalam kekecewaan.
Bertanya-tanya dalam hati: "Kenapa selalu begini? Kenapa harapan selalu harus kandas di tengah jalan?"
Berdamai dengan Ekspektasi
Setelah beberapa minggu tenggelam dalam pikiran yang tidak menentu, aku akhirnya memilih untuk bangkit. Daripada mengutuk nasib, lebih baik mencari solusi dan makna di balik semua yang terjadi.
Apakah ini mudah? Tidak. Apakah sesuai rencana awal saya? Tidak juga. Di sinilah aku belajar sesuatu yang sangat berharga: tentang ekspektasi.
Ketika rencana tidak berjalan sesuai harapan, aku merasa seluruh dunia runtuh. Padahal, hidup memang tidak selalu linear. Manusia boleh berencana sebanyak-banyaknya, tapi tetap ada Tangan yang Maha Kuasa yang menentukan jalan mana yang terbaik untuk kita.
Aku mulai belajar bahwa berekspektasi tinggi itu boleh bahkan perlu tapi kita juga harus siap berdamai ketika jalan hidup tidak sesuai rencana. Kita perlu ada momen untuk slow, untuk menerima, untuk memahami bahwa timeline setiap orang berbeda.
Yang terpenting, mimpi dan cita-cita mulia yang sudah dibentuk tidak boleh berhenti di tengah jalan meskipun kekecewaan datang berkali-kali. Jangan berhenti bergerak dan melangkah, sekecil apa pun itu. Keberhasilan tidak selalu datang dengan cepat, dan itu wajar.
Menemukan Manisnya Perjalanan
Setelah "episode" guru BK berakhir, aku tidak lantas menyerah. Justru, aku mulai melihat sisi manis dari perjalanan berliku ini.
Pertama, aku belajar tentang keberanian. Keluar dari zona nyaman bisnis keluarga untuk melamar kerja butuh courage. Menghadapi interview demi interview, meski sering ditolak, butuh mental yang kuat. Dan bangkit lagi setelah jatuh berkali-kali? Itu butuh resilience.
Kedua, pengalaman yang kuperoleh ternyata sangat berharga. Menjadi admin keuangan mengajarkanku tentang manajemen finansial. Menjadi guru BK, meski sebentar, memberiku insight langsung tentang dunia pendidikan. Menjadi tentor privat mengasahku dalam komunikasi dan teaching skills. Semua itu adalah bekal yang tidak akan sia-sia.
Ketiga, network yang tidak terduga. Siapa sangka bahwa "lawan" di interview tahun 2023 justru menjadi kunci kesempatan di tahun 2025? Hidup memang penuh surprise, dan kadang rejeki datang dari arah yang tak pernah kita duga.
Keempat, self-awareness yang semakin tajam. Aku jadi lebih mengenal diriku sendiri apa yang membuatku bahagia, apa yang membuatku stress, bagaimana cara terbaik untuk bangkit dari kegagalan.
Pesan untuk Fellow Quarter-Lifers
Jika kamu sedang membaca ini dan merasa berada di persimpangan yang sama, aku ingin kamu tahu: kamu tidak sendirian. Setiap kegagalan hanyalah plot twist, bukan akhir cerita. Timeline setiap orang berbeda, dan itu sangat wajar.
Dan untukku. Bukan berarti aku menyerah dengan mimpi utama. Keinginan untuk melanjutkan studi S2 Profesi Psikologi masih ada, meski kadang terkendala usia yang menjelang 30. Tapi aku belajar dari kisah Grandma Moses, seniman folk Amerika yang baru memulai karir sebagai pelukis di usia hampir 80 tahun.
Tidak ada kata terlambat dalam kesuksesan. Yang penting adalah tetap bergerak, melangkah, dan menikmati prosesnya.
Pindah karier di usia 30-an bagiku bukan kegagalan, tapi proses pendewasaan.
Karena pada akhirnya, manisnya hidup justru hadir dari keberanian untuk mencoba lagi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI