“Kapan nyusul?”
“Mana Calonnya?”
Pertanyaan itu seperti tamu tetap setiap kali saya hadir di kondangan, reuni, kumpul keluarga, bahkan saat sekadar menyapa tetangga. Semakin dekat usia saya ke angka 30, semakin sering pertanyaan itu mampir. saya sudah sangat akrab dengan bentuk kekhawatiran yang dibungkus kepo itu.
Saya tidak sendiri. Di circle pertemanan saya, kami berlima. Semuanya perempuan, dan semuanya masih lajang. Empat di antaranya tahun depan sudah akan memasuki usia 30. Kami tahu waktu terus berjalan. Kami juga tahu omongan orang semakin kencang. Tapi kami pun tahu, tidak semua hal dalam hidup bisa dipaksakan hanya karena umur atau tekanan sosial.
“Normal” untuk Laki-laki dan “Aneh” untuk Perempuan
Saya kadang iri. Kalau laki-laki belum menikah di usia 35, komentar orang biasanya cuma, “Belum ketemu aja tuh jodohnya.”. Tapi kalau perempuan? Baru lewat 25 saja sudah mulai dikomentari. Dilabeli dengan "perawan tualah". Di desa, label itu bisa jadi bahan gunjingan sehari-hari. Rasanya nylekit, tapi kami harus terus mendengarnya. Selain itu di desa, bahkan yang baru lulus SMA pun sudah sering ditanya, "kapan nikah?".
Ada teman saya yang sampai menghindari acara keluarga. Ada juga yang memilih diam setiap kali disinggung. Saya sendiri kadang senyum, kadang capek, kadang balik bertanya, “Kenapa harus buru-buru?”
“Wis perawan kok rak ndang nikah.”
“Kalau nanti jadi perawan tua, siapa yang mau?”
Stereotip seperti itu tidak hanya melukai, tapi juga membebani. Seakan-akan nilai perempuan hanya diukur dari status menikah dan punya anak.
Soal Kesuburan & Overthinking Perempuan Usia 30-an
Kami bukan perempuan yang anti menikah. Kami pun pernah khawatir soal kesuburan. Kami tahu soal penurunan peluang hamil setelah usia 35. Kami tahu risiko kehamilan dan kesehatan ibu-bayi yang lebih tinggi di usia tertentu.