Mohon tunggu...
E. Niama
E. Niama Mohon Tunggu... Psikologi dan Pendidikan | Tentor Akademik | Penulis Lepas | Pengamat Kehidupan dan Pendengar Cerita | Serta Seorang Intuitive Thinker

Pengamat kehidupan yang percaya pada kekuatan kata. Sebagai lulusan Psikologi dan tentor akademik, saya terbiasa membaca dinamika manusia dari berbagai sisi. Menulis bagi saya adalah ruang kontemplasi sekaligus cara berbagi makna.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Wanita Lajang Menjelang Usia 30, Masihkah dianggap Aib?

13 Juni 2025   07:40 Diperbarui: 25 September 2025   20:53 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Wanita Merenung di Tepi Pantai, Sumber : iStock (Jasmina007)

Tapi yang tidak banyak orang tahu adalah kami juga ingin menikah dengan orang yang tepat, bukan sekadar memenuhi tenggat waktu. Kami ingin menjalani kehidupan rumah tangga yang sehat, bukan hidup dalam hubungan yang penuh luka hanya karena menikah terburu-buru.

Banyak dari kami tumbuh dengan harapan sederhana: memiliki keluarga kecil yang penuh dukungan, bukan konflik. Tapi untuk mencapai itu, dibutuhkan pasangan yang benar-benar cocok. Dan menemukan itu tidak semudah menjawab “iya” saat ditanya kapan menikah.

Anak Bukan Ajang Pembuktian

Dulu kami juga berpikir soal “anak berapa”, “nanti kalau tua anak masih kecil”, atau “gimana kalau nggak bisa punya anak”. Tapi belakangan ini kami mulai memahami bahwa kualitas jauh lebih penting daripada kuantitas.

Saya punya sudut pandang begini: diberi anak satu atau dua pun sudah sangat cukup. Yang penting dididik baik tumbuh menjadi pribadi yang baik, mandiri, dan tidak merugikan orang lain, bahkan mungkin bisa memberi manfaat untuk sekitar orang lain. Jauh lebih membanggakan, dari pada punya banyak anak tapi tanpa arah Bukankah itu lebih berharga daripada sekadar jumlah?

Dan jikapun kami tidak diberi amanah anak, kami juga belajar menerima bahwa menikah tetap bisa bahagia meski hanya berdua. Karena pada akhirnya. Anak akan tumbuh dan punya kehidupan sendiri. Tapi pasanganlah yang akan tetap ada ketika usia menua.

Menikah Bukan Ajang Pelarian

Tolong, jangan menikah hanya karena takut jadi bahan omongan. Jangan karena ingin ada yang menafkahi atau mengurus kita. Dan jangan karena lelah ditanya, “Kapan nikah?”

Menikah juga bukan hanya tentang pesta, undangan, dan status sosial. Menikah adalah soal kesediaan untuk menua bersama, bertumbuh bersama, dan memikul tanggung jawab bersama. Karena itu, kami ingin memilih pasangan dengan hati-hati.

Karena saat kita menikah, kita tidak hanya memilih pendamping hidup, tapi juga calon ayah atau ibu dari anak kita, teman diskusi sepanjang usia, dan sosok yang akan memengaruhi arah hidup kita ke depan.

Tentu saya ingin menikah. Tapi saya juga ingin bahagia setelah menikah. Dan saya percaya, hal itu hanya bisa terjadi kalau kita menikah karena kesadaran, bukan karena paksaan

Timeline Setiap Orang Itu Berbeda

Untukmu yang masih lajang di akhir 20-an atau sudah menginjak usia 30-an, kamu tidak sendiri. Banyak dari kita sedang berjalan dalam kecepatan yang berbeda, dan itu tidak apa.

 “Menikah bukanlah soal siapa yang lebih cepat, tapi siapa yang lebih tepat”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun