Bicara tentang one in a million moment dalam hidupku sebenarnya banyak. Aku tipe perenung, dan terbiasa memaknai hal-hal kecil dalam kehidupan menjadi sesuatu yang bermakna. Tapi ada momen tertentu yang membekas bukan karena terjadi pada diriku sendiri, melainkan karena aku ikut menjadi saksi dari kebahagiaan seseorang yang sangat kusayangi.
Salah satunya adalah saat menyaksikan pernikahan kakak pertamaku.
Orang Baik dalam Keluarga
Kakak pertamaku adalah sosok sederhana dan apa adanya. Ia pendiam, pemendam, dan ketika ada masalah,dia cenderung melamun sambil menyeruput kopi dan menghisap rokoknya ketimbang mengeluh  kepada siapapun. Seperti kebanyakan orang baik lainnya, kelemahan kakak pertamaku terletak pada ketidakmampuannya memprioritaskan diri sendiri. Sulit baginya untuk berkata "tidak" pada orang lain, sehingga tak jarang dia dimanfaatkan.
Dalam keluarga kami, kakak pertamaku adalah andalan. Dialah yang selalu membantu ayah mengerjakan pekerjaan berat di rumah. Bagiku pribadi, dia sering menjadi penolong di saat-saat sulit. Ketika masa kuliah dulu, saat aku hidup mandiri tanpa dukungan finansial dari keluarga mengandalkan job sampingan sebagai tutor les privat ada kalanya aku mengalami kesulitan keuangan dan benar-benar kepentok, maka dialah yang pertama kali aku mintai bantuan.
Sederhana memang, tapi bagiku kakak adalah sosok berjiwa besar yang tulus menopang keluarga.
Perjalanan Cinta yang Panjang
Namun, di balik semua kebaikannya, kakak pertamaku pernah mengalami masa yang berat. Dia sempat lama melajang karena patah hati yang cukup dalam. Mantan terakhirnya meninggalkan luka yang tidak mudah disembuhkan, seolah mengubur kepercayaannya pada cinta.
Sering kali aku melihatnya duduk sendirian di malam hari di luar rumah. Sambil menyerutup kopi dan menghisap rokok, meratapi nasib serta tenggelam dalam lamunan panjang. Ada kekhawatiran yang menyelinap di hatiku: jangan-jangan dia benar-benar sudah mati rasa dan enggan membuka hati untuk siapapun. Dan aku takut kalau dia seperti itu dia akan kesepian.
Tapi dalam hati, aku selalu berpegang pada satu keyakinan: karena dia orang baik, pasti akan ada sosok yang baik pula yang akan menjadi pendamping hidupnya. Semua kesabaran, kebaikan, dan kerja kerasnya seolah menunggu momen yang tepat.
Hari yang Membekas dalam Ingatan
Dan akhirnya, hari itu pun datang. Kakak pertamaku menemukan pasangan yang membuatnya berani melangkah ke pelaminan. Aku masih ingat suasana akadnya: ramai, penuh keluarga dan kerabat, namun terasa khidmat dan intim.
Di tengah riuhnya kerumunan orang, aku menjadi salah satu saksi yang menyaksikan kakak pertamaku mengikrarkan janji suci di hadapan penghulu. Suaranya yang biasanya pelan dan ragu, kali ini terdengar mantap dan penuh keyakinan.