Gabungkan dua hal ini: usia dan penampilan, maka peluang kerja makin menyempit. Seolah-olah dunia kerja hanya terbuka untuk mereka yang muda, energik, dan enak dilihat.
Dampaknya bagi Pencari Kerja
Kondisi ini tentu menciptakan tekanan tersendiri. Banyak pencari kerja mulai merasa minder, mempertanyakan harga dirinya, bahkan kehilangan kepercayaan bahwa kerja keras dan kompetensi akan menang dari penampilan luar.
Beberapa bahkan memilih “undur diri” dari pencarian kerja formal, bukan karena menyerah, tetapi karena tahu bahwa pertarungan ini sudah tidak adil sejak awal.
Akhirnya, mereka mencari jalan lain, meski belum tentu aman dan stabil.
Lalu, Pekerjaan Apa yang Masih Terbuka?
Meski begitu, bukan berarti tidak ada harapan. Banyak sektor kerja kini mulai lebih terbuka dan inklusif, terutama setelah pandemi:
- Remote working: Posisi seperti content writer, data analyst, virtual assistant, hingga programmer lebih mengedepankan output, bukan penampilan.
- Sektor edukasi nonformal dan pelatihan online: Pengajar kursus daring, mentor UMKM, atau pelatih keterampilan kini lebih menekankan pada pengalaman.
- Wirausaha digital: Dari dropshipper, reseller, hingga pemilik toko daring, semua bisa dilakukan tanpa perlu wajah rupawan atau usia muda.
- Industri kreatif: Banyak desainer grafis, editor video, hingga ilustrator sukses meski tak pernah tampil di depan kamera.
Saatnya Dunia Kerja Lebih Inklusif
Angin segar kabar penghapusan batas usia dan persyaratan good looking, harusnya tak hanya janji manis saja.
Sudah saatnya dunia kerja berhenti menilai calon karyawan dari hal-hal superfisial. Kita perlu mendorong kebijakan rekrutmen yang lebih adil, transparan, dan inklusif.
Jika memang ada persyaratan fisik tertentu, maka perlu dijelaskan secara terbuka dan objektif, bukan sekadar “berpenampilan menarik”.