Saya pernah berbincang dengan seorang teman yang sudah berkali-kali melamar kerja.
Ia lulusan universitas negeri ternama, memiliki pengalaman 7 tahun di bidang keuangan, dan bisa mengoperasikan berbagai software dengan baik. Tapi di wawancara kerja terakhirnya, ia mendengar komentar yang membuatnya terdiam:
“Kamu cocoknya kerja di belakang layar, ya. Kurang representatif kalau harus banyak ketemu klien.”
Komentar itu datang bukan karena ia tidak kompeten. Tapi karena ia tidak memenuhi standar visual tertentu yang dianggap “menjual”.
Ini bukan cerita satu-dua orang. Banyak pencari kerja menghadapi bias serupa: bahwa penampilan bisa menjadi penentu akhir.
Bahkan, beberapa HRD secara jujur mengakui bahwa penampilan menjadi bahan pertimbangan, apalagi untuk posisi yang dianggap “klien-facing” seperti customer service, frontliner, atau sales.
Artinya, ‘good looking’ seringkali jadi syarat tak tertulis yang sulit dibantah.
Diskriminasi Usia dan Penampilan
Satu lagi syarat yang kerap membatasi: usia. Banyak lowongan kerja mencantumkan batas usia maksimal 27 atau 30 tahun, bahkan untuk posisi yang sebenarnya bisa dikerjakan oleh siapa pun dengan pengalaman matang.
Kenyataannya, setelah usia 35, banyak pencari kerja mulai mengalami diskriminasi usia. Mereka dianggap tidak “segar”, tidak bisa mengikuti tren, dan cenderung lambat belajar.
Padahal, banyak dari mereka justru memiliki kestabilan emosional, etika kerja tinggi, dan pengalaman lapangan yang luas.