Mohon tunggu...
Nuning Sapta Rahayu
Nuning Sapta Rahayu Mohon Tunggu... Guru Pendidikan Khusus/Penulis/Asesor/Narasumber

Guru Pendidikan khusus, Penulis Buku Panduan Guru Pengembangan Komunikasi Autis, aktivis pendidikan dan pecinta literasi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Antara Harga Tiket dan Harga Hati, Cerita Mudik Yang Tak Lekang Oleh Waktu

27 Maret 2025   06:00 Diperbarui: 27 Maret 2025   05:28 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada yang harus memilih antara pulang sendiri atau membawa serta keluarga, karena biaya tiket untuk satu orang saja sudah cukup menguras kantong.

Bahkan ada kisah yang lebih menyentuh: seorang pemudik yang rela menggadaikan perhiasannya demi tiket pulang. 

Kisah ini mengingatkan saya pada pengalaman pribadi saat dulu harus menggadaikan emas demi membiayai pengobatan anak saya. Bagi banyak orang, mudik memang bukan sekadar perjalanan, tetapi wujud dari kerinduan yang harus diperjuangkan.

Mudik Tahun Lalu: Satu Gerbong dengan Masa Lalu

Mudik selalu penuh kejutan. Tahun lalu,karena sesuatu dan lain hal saya mudik belakangan, sementara suami dan anak sudah mudik duluan 2 hari sebelumnya.

Tanpa disengaja, saya duduk satu gerbong dengan seseorang yang dulu pernah mengisi hati saya. Ya, mantan pacar 16 tahun yang lalu. Awalnya, saya hanya menganggapnya sebagai pemudik lain, sampai akhirnya tatapan kami bertemu, dan waktu seakan mundur ke masa lalu.

Percakapan dimulai dengan basa-basi klasik: “Mudik ke mana?” lalu berkembang menjadi nostalgia tentang masa-masa dulu. Ada canggung, ada tawa, ada kenangan yang tiba-tiba menyeruak dari ingatan. 

Kami bercerita tentang hidup masing-masing, perjalanan yang telah ditempuh, dan bagaimana kehidupan membawa kami ke arah yang berbeda.

Siapa sangka, sebuah perjalanan mudik bisa menjadi ajang reuni tak terduga? Kereta yang melaju di atas rel seakan menjadi metafora perjalanan hidup. Kadang kita sejalan, kadang berpisah di stasiun berbeda. 

Ketika sampai di tujuan, kami hanya saling tersenyum dan mengucapkan selamat Lebaran. Lalu, masing-masing kembali ke kehidupan yang telah dipilih.

Tahun Ini: Rindu yang Harus Ditunda

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun