Ada yang harus memilih antara pulang sendiri atau membawa serta keluarga, karena biaya tiket untuk satu orang saja sudah cukup menguras kantong.
Bahkan ada kisah yang lebih menyentuh: seorang pemudik yang rela menggadaikan perhiasannya demi tiket pulang.
Kisah ini mengingatkan saya pada pengalaman pribadi saat dulu harus menggadaikan emas demi membiayai pengobatan anak saya. Bagi banyak orang, mudik memang bukan sekadar perjalanan, tetapi wujud dari kerinduan yang harus diperjuangkan.
Mudik Tahun Lalu: Satu Gerbong dengan Masa Lalu
Mudik selalu penuh kejutan. Tahun lalu,karena sesuatu dan lain hal saya mudik belakangan, sementara suami dan anak sudah mudik duluan 2 hari sebelumnya.
Tanpa disengaja, saya duduk satu gerbong dengan seseorang yang dulu pernah mengisi hati saya. Ya, mantan pacar 16 tahun yang lalu. Awalnya, saya hanya menganggapnya sebagai pemudik lain, sampai akhirnya tatapan kami bertemu, dan waktu seakan mundur ke masa lalu.
Percakapan dimulai dengan basa-basi klasik: “Mudik ke mana?” lalu berkembang menjadi nostalgia tentang masa-masa dulu. Ada canggung, ada tawa, ada kenangan yang tiba-tiba menyeruak dari ingatan.
Kami bercerita tentang hidup masing-masing, perjalanan yang telah ditempuh, dan bagaimana kehidupan membawa kami ke arah yang berbeda.
Siapa sangka, sebuah perjalanan mudik bisa menjadi ajang reuni tak terduga? Kereta yang melaju di atas rel seakan menjadi metafora perjalanan hidup. Kadang kita sejalan, kadang berpisah di stasiun berbeda.
Ketika sampai di tujuan, kami hanya saling tersenyum dan mengucapkan selamat Lebaran. Lalu, masing-masing kembali ke kehidupan yang telah dipilih.
Tahun Ini: Rindu yang Harus Ditunda