Mohon tunggu...
Nugroho Endepe
Nugroho Endepe Mohon Tunggu... Konsultan - Edukasi literasi tanpa henti. Semoga Allah meridhoi. Bacalah. Tulislah.

Katakanlah “Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering; maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir bagimu?” (67:30) Tulisan boleh dikutip dengan sitasi (mencantumkan sumbernya). 1) Psikologi 2) Hukum 3) Manajemen 4) Sosial Humaniora 5) Liputan Bebas

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Sudah Membayar Pajak Malah Diuber

8 Maret 2021   22:13 Diperbarui: 9 Maret 2021   08:50 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lebih bayar perlu proses administrasi yang lebih simpel (foto: pajakstartup.com) 

Tidak mudah menjelaskan di forum Kompasiana ini. Namun bagi yang mengalaminya, bisa jadi terehem-ehem alias bisa paham bisa pula semakin tidak paham. Ini terkait dengan pajak penghasilan pribadi (Pph 21) final, yang musti dilaporkan tahunan melalui Kantor Pajak terdekat, atau lewat e-fin atau layanan pelaporan pajak online. Jika penghasilan dari satu sumber, yakni kantornya 1, maka dapat dipastikan secara teoritik, tidak akan ada masalah yang berarti. 

Namun jika kita berada di 2 kantor, dan pembayaran pajaknya tidak terkonsiliasi secara otomatis, namun harus direkonsiliasi manual, ini yang akan menjadi masalah. 

Sebagian wajib pajak mengatakan lebih baik "kurang bayar" ketimbang "lebih bayar". Kalau "kurang bayar", maka tinggal bayar kekurangan itu maka selesei perkara. Hidup akan bahagia. Tidak diuber-uber pegawai pajak.

Namun kalau "lebih bayar", alamat akan tidur tidak nyenyak makan tidak enak. Sebab, asumsi awam adalah itu merupakan HAK, jadi kalau lebih bayar itu tidak diklaim, maka tidak masalah. 

Namun bagi petugas pajak, status LB Lebih Bayar adalah tanggung jawab untuk restitusi (uang kelebihan dikembalikan ke wajib pajak), atau dikonversikan dengan pembayaran pajak tahun berikutnya.

Di sinilah masalah mulai muncul. Wajib pajak akan ditanyai macam-macam, menandatangani pakta integritas, surat pernyataan ini itu, yang sebagai wajib pajak di bawah tekanan psikologis karena statusnya adalah "terperiksa". 

Pemeriksaan dokumen pajak pribadi atau penghasilan tersebut, juga dengan Surat Panggilan I, II, dan seterusnya. Risikonya, wajib pajak yang pindah, bahkan pindah KTP serta alamat domisili, maka ia juga akan dikejar sampai ujung dunia. Padahal, bukankah itu adalah "LEBIH BAYAR", dan "HAK", sehingga hak boleh diambil boleh tidak kan?

Nah, teman saya yang ahli pajak mengatakan begini: 

Status SPT LB (Lebih bayar) itu merupakan klaim Wajib Pajak untuk pengembalian Lebih Bayarnya, dan atas klaim ini memang harus melewati mekanisme yang dipilih wajib pajak sendiri waktu mengisi SPT, bisa lewat Pembayaran Pendahuluan (dengan syarat2 ttt) atau lewat Pemeriksaan, dalam kasus ini sepertinya harus lewat pemeriksaan, tapi tenang saja, sepanjang semua kewajiban perpajakan sudah sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku pasti akan dikembalikan sesuai dengan klaimnya."

Masalahnya: wajib pajak tidak mengklaim, mengapa harus diperiksa segala ?

Jawabannya kembali ke atas: status LB adalah merupakan klaim, yang otomatis akan muncul diaplikasi pembayaran pajak, sehingga prosedur memang harus melalui pemeriksaan. 

Seterusnya, saya mencoba menghubungi situs resmi pajak dan mendapatkan jawaban sebagai berikut: 

"Berdasarkan UU Pajak Penghasilan Pasal 28A, PPh lebih bayar terjadi apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil dari jumlah kredit pajak, maka setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksi-sanksinya. Selain itu, Wajib Pajak juga dapat memilih untuk mengkompensasikannya dengan utang pajak tahun berikutnya.

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17B ayat (1) Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk berwenang untuk mengadakan pemeriksaan sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak."

Nah lo......... ada Surat Perintah Pemeriksaan, ada risiko Sanksi jika terbukti ada pembayaran yang selisih lagi. Ada reward atau keringanan atau relaksasi? Ya ada... kami periksa lagi Saudara, silakan berikan bukti, lampirkan ini itu, baru relaksasi dapat diterapkan. 

Bagaimana jika proses pemeriksaan terjadi kontaminasi virus Covid19, atau imunitas drop karena psikologisnya jatuh, ya sudah...takdir mati ya mati takdir hidup ya hidup. Pajak tidak melihat kondisi imunitas orang, pajak adalah administrasi yang dilarang keras keliru. 

Bahkan ketika hak tidak diambil, maka itu wajib diambil. Regulasi pajak menjadi sebuah mujizat yang mengubah hak menjadi kewajiban. 

Pokoknya tidak mau tahu, pemeriksaan adalah wajib dan akan dikejar sampai ke ujung dunia. 

Bahkan dunia pun akan diperiksa pajaknya. Cape deh....

TAAT PAJAK MALAH DIUBER?

Begitulah kira-kira keluhan wajib pajak. Sudah membayar, malah diuber. 

Sebagai usulan, sebaiknya self asesmen ditiadakan. Digantikan dengan otomatisasi nge-link ke nomor pokok wajib pajak. Seperti yang berlaku di banyak negara maju?

Pertanyaannya, apakah negara kita negara maju? 

Maju dunk, buktinya pemeriksaan akan berjalan, di negara kita jangan disamakan di luar negeri, bencilah produk luar negeri, kita kembangkan sistem yang membuat wajib pajak itu sampai mati berdiri kalau perlu, sehingga periksa periksa dan periksa. 

Padahal, katanya orang, di negara Eropa itu tidak perlu self asesmen. Sehingga, semua pajak akan tercatat otomatis di nomor akun wajib pajak tersebut. Mau kelebihan, atau kekurangan, dapat langsung dieksekusi melalui administrasi yang bersifat direct action. Negara bahwa mentransfer kelebihan pajak tanpa banyak proses periksa yang membuat wajib pajak kebingungan mau bagaimana lagi. 

Sebagaimana kawan saya di Norwegia, mentor yang saya hormati, Pak Vincent, beliau mengatakan kalau sistem perpajakan di Norway lebih simpel dan wajib pajak tidak perlu melaporkan lagi pajak "yang sudah ia bayar". 

Bayangkan di negara kita, sudah membayar, lantas disuruh melaporkan lagi, tahunan dan risiko data bisa belum rekonsiliasi. Inilah self asesmen yang menyibukkan wajib pajak untuk bertakon-takon turus ke kantor mengenai catatan pajak dan atau selisih kurang lebih jika dia bekerja di afiliasi yang belum otomatis dalam rekonsiliasi pajaknya. 

Di Norway, bahkan kalau ada kelebihan pajak, misalnya return tax di bandara, langsung didebet di rekening, sehingga wajib pajak bahagia hidupnya di dunia sambil leyeh-leyeh gembira. Tidak diuber-uber sampai ke ujung dunia. 

..................

Saya akan kutipkan kisah dari Pak Vincent sbb: NORWEGIA TIDAK SELF ASSESMENT 

Selama hidup bertahun-tahun di Norwegia, saya hampir tidak pernah merasa "membayar pajak" - karena memang pajak sudah dipotong sebelum gaji/pendapatan diberikan. Setiap tahun pemerintah (kantor pajak) "melaporkan" kepada saya, berapa pajak yang sudah saya bayar, dan berapa yang seharusnya saya bayar. Selisihnya, kelebihan atau kekurangannya akan diselesaikan kemudian. Hampir pasti kita kelebihan bayar, oleh karena itu, pemerintah akan mengembalikan uang pajak tsb. dng mentransfernya langsung ke rekening saya. Utk sebagian penduduk Norwegia, uang ini lah yg kmd digunakan utk liburan. Kalau saya terima hasil perhitungan kantor pajak tsb, saya tdk perlu melakukan apa2. Atau, kalau mau lebih afdol, saya bisa kirim sms "OK", atau lewat website, tinggal bilang "OK". Tapi kalo saya tidak terima, saya bisa protes, nanti dipelajari oleh kantor pajak, - protes itu bisa disetujui, bisa ditolak.

Di Indonesia, setiap tahun saya selalu pusing dan sakit perut krn urusan pajak, Kita harus secara aktif melaporkan. Dan, hampir pasti kita tidak bisa bilang kalau kita kelebihan bayar, - karena akan jadi panjang urusannya. 

Dari pengalaman, susah juga utk jujur, melaporkan apa adanya sama kantor pajak, krn kita harus mempertimbangkan brp yg kita bayar tahun lalu, dan brp proyeksi yg akan kita bayar tahun depan, dan karena berbagai pertimbangan lain.

Pada tatanan perusahaan (corporate), semua perusahaan di Norwegia itu jelas identitasnya, dan nomor rekeningnya. Semua transaksi dapat dilacak kembali. Perusahaan wajib menarik pajak dari pelanggannya, dan uang pajak ini langsung disisihkan oleh perusahaan di rekening yang terpisah - utk disetorkan pada negara. Jadi setiap tahun hanya ada satu laporan yg dibuat, yaitu laporan yang benar. Di Indonesia, setahu saya laporan itu paling tidak dibuat tiga versi, satu buat laporan pajak, satu buat bank, satu buat kepentingan intern. Belum lagi ada yg dibuat utk share holders, atau calon investor.

Di Norwegia, usaha - sekecil apapun, berjualan sekecil apapun akan menerima transaksi menggunakan kartu (debit atau bahkan kredit). Kalau ada usaha yg tidak menerima transaksi kartu, akan ditinggalkan oleh pelanggan, karena dianggap gelap (atau ada intensi mau menggelapkan pajak), dan karena memang orang di Norwegia sudah jarang bawa duit cash. (VR)

............

Regulasi pajak di Indonesia mungkin perlu disempurnakan. Sebaiknya wajib pajak yang taat membayar dan atau melapor, ya jangan diuber-uber sampai risiko terkena serangan jantung mendadak. Mengapa, inilah word yang berbahaya bagi manusia: DIPERIKSA, TERPERIKSA, MENDAPATKAN TUGAS DARI NEGARA UNTUK MEMERIKSA SAUDARA, dan sejenisnya.

Kok ya yang ditangkap malah petugas pajak, sepertinya tidak terjadi di negara kita. 

lihat link: https://economy.okezone.com/read/2021/03/08/320/2374335/bikin-kaget-segini-harta-kekayaan-pegawai-pajak-yang-diduga-terlibat-suap

Ya mungkin risiko hidup di Nusantara, bahkan ada jenazah pun bisa dijadikan terdakwa. 

Kita hidup bersama orang yang baik, dan ada juga yang tidak baik.

Kita diatur oleh regulasi yang baik, ada juga yang baik tapi merepotkan. 

Teriring doa semoga kita semua sehat sentosa bahagia dunia wal akhirat. Bagi yang sedang diuber proses administrasi, semoga segera kelar  dan segera bahagia selama-lamanya. (08.03.2021/Endepe) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun