Mohon tunggu...
I Nyoman Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen Kimia Undiksha - Hoby menanam anggur

Jalan jalan dan berkebun

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Meja Makan yang Sama

13 September 2025   22:17 Diperbarui: 13 September 2025   22:17 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Meja makan (Sumber : Shopee.co.id)

Waktu selalu punya cara untuk mempermainkan hati yang sedang rindu. Pada jam-jam tertentu, ia terasa begitu lambat, seolah sengaja mengulur setiap detik agar jarak menjadi semakin panjang. Namun pada jam yang lain, ia tiba-tiba berlari, meninggalkan dua insan yang masih ingin berbicara, masih ingin saling menatap meski hanya lewat cahaya layar.

Sore itu, di sebuah kota tempat seminar berlangsung, Kirana mengetikkan pesan pendek pada layar ponselnya. "Belum sayangku, ini mama lagi mau siap-siap makan dulu sayang, sama teman-teman seminar. Setelah itu masuk sebentar, sayang. Kalau sudah beres semua baru balik ke penginapan, papa." Pesan itu sederhana, namun di dalamnya terselip letih, terselip senyum, terselip janji untuk selalu kembali.

Di sisi lain, jauh di tempat berbeda, I Nyoman Kartika membaca pesan itu. Jam di dinding rumahnya menunjukkan pukul 17:26. Ia menatap layar sebentar, lalu mengetik: "Udah dinner ya jam segini, sayang?"

Pesan-pesan itu seperti titian kecil, jembatan tak kasat mata yang menghubungkan dua hati. Tak ada bunga mawar di meja, tak ada pelukan di ujung jalan, hanya rangkaian kata-kata singkat yang menjadi bukti betapa cinta tak pernah membutuhkan panggung besar.

Seminar berakhir tepat jam enam sore. Kirana masih duduk sejenak, membiarkan tubuhnya bernapas. Seharian ia berlari dari satu sesi ke sesi lain, mencatat, berdiskusi, menyimak, dan tetap menjaga senyum yang tak boleh pudar. Di kepalanya, ada nama yang terus terlintas: "Papa."

Ia membalas pesan suaminya dengan lembut: "Iyaa sayang, acara selesai jam 18:00 WIB."

Dan dari kejauhan, jawaban singkat itu diterima dengan hati penuh syukur. Tak lama, pesan berikutnya datang dari Kartika: "Mat makan sayang." Kata sederhana, tapi di baliknya ada doa agar suap demi suap makanan yang masuk ke tubuh istrinya menjadi tenaga, menjadi penopang agar ia kuat berdiri lagi esok hari.

Kirana tersenyum kecil, mengetik balasan: "Iyaa papa sayang, mandi sayang yah. Di sana sudah jam 17:31 ya sayang."

Jam terus berjalan. Tapi hati mereka seperti duduk berhadapan di meja yang sama.

Kartika tahu, istrinya pasti lelah. Ia menulis: "Ya sayang, mama capek pasti ya, dari pagi tidak istirahat siang, sayang."

Kirana menahan napas sebentar. Bukan karena marah atau sedih, tapi karena hatinya terenyuh. Lelah memang ada, tapi cinta jauh lebih besar. Ia mengetik lagi: "Iyaa sayang, hehe gapapa. Kan ini semua untuk kita. Apa pun mama usahakan untuk kita dan masa depan kita sayang."

Kata-kata itu seperti pelita yang menyala di dada Kartika. Ia membaca ulang berulang kali, seolah ingin menanamkan dalam dirinya bahwa semua jerih payah istrinya, semua peluh dan langkah tanpa istirahat, adalah persembahan cinta untuk mereka berdua. Ia menulis dengan perasaan penuh haru: "Terima kasih mama sayang. Moga mama kuat dan sehat selalu. Papa selalu menunggumu, sayang."

Kirana membaca pesan itu sambil menggenggam ponselnya erat. Matanya sejenak berkaca-kaca. Kadang, perhatian yang sederhana dari orang yang dicintai jauh lebih menguatkan daripada segelas jamu atau pil penambah tenaga. Ia membalas dengan hati penuh cinta: "Iyaa sayang, sama-sama sayangku."

Waktu bergeser. Jam menunjukkan hampir pukul delapan malam. Rindu tak pernah lelah mengetuk. Kirana mengirim pesan: "Papa lagi apa sekarang?"

Kartika yang baru saja selesai makan menjawab jujur: "Baru habis makan sayang."

Kirana tersenyum kecil. Pertanyaan itu sebetulnya bukan untuk sekadar tahu apa yang dimakan, melainkan untuk memastikan: "Apakah papa baik-baik saja? Apakah papa juga menjaga dirinya sebaik mama menjaga dirinya?"

Rindu kadang muncul dalam bentuk pertanyaan sederhana.

Tak lama kemudian, Kirana bertanya lagi: "Makan apa sayangku?"

Dan jawaban yang datang bukan sekadar daftar menu, tapi sebuah lukisan kehidupan sederhana yang hangat:

"Papa masak sayur fresh. Isinya bawang merah, putih, daun bawang, ditumis dulu, lalu dimasukin sayur hijau, kol dan sawi. Cabai langsung digoreng, lalu dikasih garam dan air serta bumbu totole. Sudah itu saja, fresh. Lauknya tahu lombok digoreng, tambah sambel ayam templong, tambah pepaya dua sisir. Udah itu saja, sayang."

Kirana membacanya dengan mata berbinar. Ia bisa membayangkan aroma bawang yang ditumis, sayur hijau yang mendidih di kuah sederhana, pedas cabai yang menguarkan harum segar, tahu goreng yang renyah, sambal ayam yang menggoda, serta pepaya manis sebagai penutup.

Di kepalanya, ia bisa melihat Kartika duduk di meja makan, mungkin sendirian, mungkin dengan sunyi yang mendampingi. Namun di balik kesederhanaan itu, ada cinta yang melimpah. Masakan itu bukan sekadar santapan, melainkan sebuah doa yang dimasak perlahan, sebuah kesetiaan yang disajikan hangat-hangat.

Di antara layar yang menyala dan pesan yang saling berbalas, ada jarak yang tak bisa ditembus. Namun jarak itu juga yang membuat cinta semakin terasa. Seperti langit malam yang lebih indah dilihat dari kegelapan, seperti bintang yang lebih terang bila dipandang dari kesunyian.

Kirana tahu, jalan yang ia pilih tak selalu mudah. Seminar, perjalanan, pekerjaan---semua itu menuntut waktu dan tenaga. Tapi ia juga tahu, di ujung semua itu, ada seseorang yang selalu menunggu, yang selalu percaya bahwa semua pengorbanan ini bukan sia-sia.

Kartika pun tahu, menunggu bukan perkara mudah. Ada rindu yang tak tertuntaskan, ada sepi yang harus dipeluk sendiri. Namun ia percaya, bahwa menunggu Kirana adalah bentuk paling nyata dari kesetiaan. Dan kesetiaan adalah rumah, tempat semua cinta kembali.

Malam semakin larut. Di penginapan sederhana, Kirana menutup matanya. Ia bisa mendengar suara bayangan Kartika di telinganya, "Papa selalu menunggumu, sayang." Kalimat itu menjadi selimut, menutupi lelahnya, menenangkan pikirannya.

Di rumah yang jauh, Kartika juga menatap langit-langit kamarnya. Ia membayangkan wajah Kirana yang tertidur lelap setelah seharian berjuang. Ia membisikkan doa tanpa suara, agar istrinya selalu sehat, agar langkahnya selalu dimudahkan.

Dan entah bagaimana, meski berada di dua tempat berbeda, mereka merasa sedang duduk di meja makan yang sama. Meja tak terlihat, namun dipenuhi sayur hangat, tahu goreng, sambal pedas, pepaya manis, dan tentu saja: cinta yang tidak pernah habis.

Cinta, pada akhirnya, bukanlah tentang besar atau kecilnya pesta, bukan pula tentang jarak yang memisahkan atau dekatnya jarak yang menyatukan. Cinta adalah ketika dua hati tetap bisa duduk bersama, bahkan di meja makan yang tak kasat mata.

Cinta adalah ketika percakapan sederhana di layar ponsel bisa menjelma jadi doa panjang, ketika "sudah makan, sayang?" berarti "aku peduli padamu," ketika "jangan lupa mandi, ya" berarti "jangan lupa jaga dirimu."

Dan cinta adalah ketika sepotong pepaya bisa menjadi simbol manisnya kebersamaan, ketika sepiring tahu goreng bisa menjadi saksi bahwa rumah bukanlah tempat, melainkan hati yang saling menunggu.

Maka, meski malam itu mereka tidur di ranjang yang berbeda, sejatinya mereka sedang tidur dalam mimpi yang sama: mimpi tentang hari esok di mana meja makan mereka tak lagi kosong, di mana rindu tak lagi dititipkan pada pesan singkat, di mana cinta tak lagi terhalang jarak.

Karena cinta sejati selalu tahu jalan pulang.****

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun