* Sampel biologis bisa dicemari atau ditukar.
* Data laboratorium bisa dimanipulasi sebelum dicetak.
* Hasil PCR bisa "dibaca ulang" sesuai tafsir operator.
Beety menulis, bahkan di Amerika Serikat, ada kasus di mana **mesin laboratorium error** dan salah menukar sampel darah, menyebabkan orang tak bersalah dinyatakan mabuk. Jika di negara dengan regulasi ketat saja bisa begitu, bagaimana dengan negeri yang gemar "main mata" di balik meja?
Satire Ilmiah: Tuhan DNA dan Umatnya
Mari kita berandai-andai. Jika DNA adalah agama baru, maka:
* **Laboratorium adalah rumah ibadah.**
* **Analis forensik adalah imam.**
* **Jaksa adalah nabi yang menyampaikan wahyu ke publik.**
Dan masyarakat? Ya, mereka adalah jemaat yang hanya bisa mengamini tanpa bertanya.
Lucunya, tak ada ruang untuk bid'ah atau penafsiran ulang. Kalau hasil tes bilang "99,99% cocok", maka habislah sudah. Tak peduli apakah sampel terkontaminasi, apakah mesin rusak, atau apakah ilmuwan sedang patah hati saat membaca kurva elektroforesis.
 Ridwan Kamil: Korban atau Simbol?
Dalam konteks Ridwan Kamil, tes DNA ini bukan sekadar urusan keluarga. Ia adalah simbol betapa rapuhnya reputasi publik ketika dibenturkan dengan "kebenaran laboratorium."
Pertanyaannya: apakah publik benar-benar peduli pada kebenaran ilmiah, atau hanya butuh drama untuk memuaskan rasa ingin tahunya?
Jika hasilnya negatif, ada yang bersorak. Jika positif, ada yang bertepuk tangan. Padahal, yang seharusnya dipersoalkan adalah "transparansi proses": siapa yang memegang sampel, siapa yang membaca data, siapa yang mengumumkan hasil. Tanpa itu, angka 99,99% hanya tinggal angka.