Mungkinkah ada  potensi pemalsuan dan bias dalam analisis DNA forensik?, Â
Di zaman ketika manusia sudah tak terlalu percaya pada kitab suci lama, lahirlah sebuah kitab baru bernama "tes DNA". Ayat-ayatnya dicetak dalam bentuk persentase: 99,9999% atau 0%. Hitam putih, seolah-olah kebenaran ilmiah telah lahir tanpa noda. Di meja redaksi media, angka ini diperlakukan seperti wahyu: tidak bisa salah, tidak boleh ditafsirkan.
Lalu muncullah drama Ridwan Kamil dan Lisa Mariana-dua nama yang tiba-tiba diseret ke panggung publik, bukan karena prestasi atau karya sastra, melainkan karena selembar kertas hasil uji DNA (https://news.detik.com/berita/d-8071177/reaksi-pihak-ridwan-kamil-dan-lisa-mariana-usai-hasil-tes-dna-terungkap)
Tiba-tiba, seluruh negeri berubah menjadi laboratorium besar, tempat gosip bercampur dengan bioteknologi, dan politik diguyur oleh reagen kimia.
Pertanyaan satir pun muncul: benarkah tes DNA itu suci dan tak bisa dipalsukan? Â Ataukah, seperti halnya tanda tangan pejabat, ia juga bisa diduplikasi, dipelintir, bahkan dimanipulasi sesuai selera?
Kasus: Dari Balai Kota ke Balai Laboratorium
Media memberitakan hasil tes DNA antara Ridwan Kamil, sang mantan gubernur karismatik, dan Lisa Mariana. Hasilnya, kata berita, sudah "terungkap". Publik pun gaduh. Ada yang merasa puas, ada yang curiga, ada pula yang tersenyum getir: betapa rapuh reputasi manusia di hadapan satu dokumen laboratorium.
Seolah-olah Indonesia sedang menonton sinetron Korea, tapi dengan judul yang lebih panjang: "Antara Politik, Biologi, dan Laboratorium Forensik: Episode Kesekian dari Republik Tercinta."
Namun, jika kita tarik napas dalam-dalam, ada satu pertanyaan krusial yang luput dari teriakan massa: seberapa mudah sebuah tes DNA bisa dipalsukan atau disalahgunakan?
Forensik: Ilmu Suci yang Ternyata Bisa Berdusta
Banyak orang berpikir, DNA adalah bukti absolut. Tapi penelitian hukum forensik justru memperingatkan sebaliknya. Dalam artikel akademik "Forensic Evidence in Arizona" karya Valena Beety, dijelaskan bahwa laboratorium kriminal di AS pun pernah menjadi sarang manipulasi.
Contohnya: Kasus Joyce Gilchrist,  seorang analis forensik di Oklahoma, yang  memalsukan hasil DNA dan berkolusi dengan jaksa untuk menyembunyikan bukti yang bisa membebaskan terdakwa. Hasilnya? Orang yang mungkin tak bersalah malah duduk di kursi mati.
Kasus Ray Krone di Arizona, dijuluki "Snaggletooth Killer", yang dihukum mati karena bukti gigitan palsu. Bertahun-tahun kemudian, "DNA sungguhan" Â justru membuktikan ia tidak bersalah.
Pelajaran satirnya jelas: bahkan "bukti ilmiah" bisa dipakai sebagai senjata politik, alat balas dendam, atau sekadar tiket promosi bagi pejabat hukum.
 Bias di Balik Mikroskop
Masalah terbesar bukan hanya pemalsuan langsung, tapi juga  "bias manusia" yang mengoperasikan mesin.
-Analis forensik yang bekerja di bawah polisi bisa secara psikologis terdorong untuk menghasilkan data yang "menguntungkan jaksa".
- Tekanan institusional bisa membuat ilmuwan laboratorium lebih mirip tukang servis: kerjakan sesuai pesanan, jangan banyak tanya.
Di sinilah satire menemukan panggungnya. Kita membayangkan seorang ilmuwan forensik berdiri di depan PCR machine, lalu berbisik:
> "Tuhan, hari ini bos maunya hasil positif atau negatif?"
Jika bosnya politisi, jawabannya mungkin sudah bisa ditebak.
DNA di Indonesia: Antara Ilmu dan Drama
Mari kita tarik kembali ke kasus Ridwan Kamil. Publik heboh bukan karena ingin memahami metodologi PCR, melainkan karena haus akan drama. "Apakah benar? Apakah palsu? Siapa yang bohong?"---pertanyaan yang sebenarnya lebih cocok untuk sinetron jam 7 malam daripada jurnal sains.
Namun, di balik drama itu, ada implikasi serius: tes DNA bisa dijadikan senjata politik. Bayangkan jika hasilnya diumumkan hanya sebagian, atau data mentahnya tak pernah dipublikasikan. Siapa yang bisa menjamin tidak ada "intervensi"?
Dalam sistem hukum, hal ini sangat mungkin terjadi. Beety menulis, di banyak kasus, pengacara pembela tidak mendapat akses penuh ke data DNA. Mereka hanya menerima "laporan ringkas"---selembar kertas dengan satu kalimat: cocok atau tidak cocok. Sementara catatan laboratorium lengkap, yang bisa mengungkap kesalahan mesin atau kontaminasi, disimpan rapat oleh jaksa.
Apakah pola serupa mungkin terjadi di sini? Jawabannya: tentu saja.
DNA: Dari Laboratorium ke Panggung Politik
Ada ironi besar di sini. Di satu sisi, teknologi DNA lahir untuk membawa kebenaran ilmiah. Tapi di sisi lain, ia dipakai seperti "cap stempel birokrasi: sekali diketok, maka tak terbantahkan".
Bagi politisi, hasil tes DNA bisa jadi senjata pamungkas. Lupakan survei elektabilitas atau strategi kampanye: cukup keluarkan hasil tes DNA, maka media akan bergemuruh. Publik tak lagi membahas program kerja, tapi sibuk menebak siapa ayah biologis siapa.
Mungkin di masa depan, kita akan melihat baliho kampanye berbunyi:
 "Pilihlah aku, DNA-ku 100% asli!"
Satire? Ya. Tapi juga mungkin sekali terjadi.
 Pemalsuan DNA: Bukan Sekadar Teori
Lalu, bisakah tes DNA dipalsukan? Jawaban ilmiahnya: "bisa"
* Sampel biologis bisa dicemari atau ditukar.
* Data laboratorium bisa dimanipulasi sebelum dicetak.
* Hasil PCR bisa "dibaca ulang" sesuai tafsir operator.
Beety menulis, bahkan di Amerika Serikat, ada kasus di mana **mesin laboratorium error** dan salah menukar sampel darah, menyebabkan orang tak bersalah dinyatakan mabuk. Jika di negara dengan regulasi ketat saja bisa begitu, bagaimana dengan negeri yang gemar "main mata" di balik meja?
Satire Ilmiah: Tuhan DNA dan Umatnya
Mari kita berandai-andai. Jika DNA adalah agama baru, maka:
* **Laboratorium adalah rumah ibadah.**
* **Analis forensik adalah imam.**
* **Jaksa adalah nabi yang menyampaikan wahyu ke publik.**
Dan masyarakat? Ya, mereka adalah jemaat yang hanya bisa mengamini tanpa bertanya.
Lucunya, tak ada ruang untuk bid'ah atau penafsiran ulang. Kalau hasil tes bilang "99,99% cocok", maka habislah sudah. Tak peduli apakah sampel terkontaminasi, apakah mesin rusak, atau apakah ilmuwan sedang patah hati saat membaca kurva elektroforesis.
 Ridwan Kamil: Korban atau Simbol?
Dalam konteks Ridwan Kamil, tes DNA ini bukan sekadar urusan keluarga. Ia adalah simbol betapa rapuhnya reputasi publik ketika dibenturkan dengan "kebenaran laboratorium."
Pertanyaannya: apakah publik benar-benar peduli pada kebenaran ilmiah, atau hanya butuh drama untuk memuaskan rasa ingin tahunya?
Jika hasilnya negatif, ada yang bersorak. Jika positif, ada yang bertepuk tangan. Padahal, yang seharusnya dipersoalkan adalah "transparansi proses": siapa yang memegang sampel, siapa yang membaca data, siapa yang mengumumkan hasil. Tanpa itu, angka 99,99% hanya tinggal angka.
 Reformasi Forensik: Pelajaran dari Arizona
Artikel Beety menawarkan solusi: laboratorium harus "independen dari polisi dan jaksa" . Dengan begitu, DNA bisa benar-benar jadi sains, bukan politik.
Di Houston, Amerika Serikat, sudah ada laboratorium independen yang membuka akses penuh kepada publik dan pengacara. Semua catatan bisa diunduh secara online. Hasilnya? Kepercayaan publik meningkat, dan manipulasi berkurang.
Bayangkan jika di Indonesia ada "Badan DNA Independen" yang mengumumkan hasil dengan live streaming, lengkap dengan file mentah. Mungkin gosip tetap ada, tapi setidaknya publik bisa menilai sendiri, bukan hanya mengamini.
 Penutup: DNA Bukan Tuhan
Satire ini bukan untuk merendahkan sains, melainkan untuk mengingatkan bahwa  "ilmu tidak pernah steril dari kepentingan manusia". DNA bukan kitab suci, ia hanyalah rangkaian basa nitrogen yang diinterpretasikan lewat mesin---dan mesin dikendalikan oleh manusia, yang bisa salah, bias, bahkan curang.
Kasus Ridwan Kamil dan Lisa Mariana hanyalah cermin: betapa kita begitu cepat menganggap angka laboratorium sebagai kebenaran mutlak, padahal ia bisa dimanipulasi.
Mungkin suatu hari nanti, bangsa ini perlu menulis ulang pepatah:
 "Di balik setiap hasil DNA, selalu ada manusia yang menekan tombol mesin."
Dan manusia, seperti kita tahu, selalu membawa serta bias, kepentingan, dan---tentu saja---sisi satire. Moga Bermanfaat****
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI